Ada sebuah
ungkapan klasik di dunia ini “Hancurkan kaum muda disuatu Negara maka kamu akan
menguasai Negara tersebut”. Sepenggal ungkapan itu mengungkapkan betapa
krusialnya posisi kaum muda bagi kelangsungan hidup sebuah Negara.
Ungkapan yang senada juga pernah diungkapkan oleh dr. Tjipto Mangunkusumo. Dia mengatakan bahwa “Masa depan suatu bangsa adalah di tangan generasi mudanya”. Ucapan yang keluar dari pahlawan nasional yang dulunya mahasiswa yang rela berjuang bersama dan demi rakyat ini tentulah tidak berdasar dari khayalan, impian atau muncul pada saat kondisi mabuk. Tetapi hal ini muncul dalam keadaan sadar dan didukung oleh fakta dan bukti sejarah dalam perjalanan pergerakan di negeri ini. Dalam momentum yang menentukan arah bangsa kita selalu melihat “Kaum Muda” (mahasiswa) selalu hadir sebagai pendorong sekaligus sebagai pelaku dalam perubahan tersebut, walaupun kadarnya tidak selalu sama. Setidaknya sekenario resmi pemerintah Indonesia yang masih jadi pakem hingga saat ini., mencatat sebuah lakon yang diaktori mahasiswa, sebutlah pendirian Budi Oetomo yang dianggap sebagai pelopor nasional. Konggres Pemuda II 1928 yang menelorkan sumpah pemuda, proklamasi kemerdekaan 1945, penggulingan soekarno 1966, dan juga penggulingan kekuasaan otoritarian soeharto pada tahun 1998 lalu, semua lakon sejarah tersebut selalu mengambil mahasiswa sebagai aktor utama.
Ungkapan yang senada juga pernah diungkapkan oleh dr. Tjipto Mangunkusumo. Dia mengatakan bahwa “Masa depan suatu bangsa adalah di tangan generasi mudanya”. Ucapan yang keluar dari pahlawan nasional yang dulunya mahasiswa yang rela berjuang bersama dan demi rakyat ini tentulah tidak berdasar dari khayalan, impian atau muncul pada saat kondisi mabuk. Tetapi hal ini muncul dalam keadaan sadar dan didukung oleh fakta dan bukti sejarah dalam perjalanan pergerakan di negeri ini. Dalam momentum yang menentukan arah bangsa kita selalu melihat “Kaum Muda” (mahasiswa) selalu hadir sebagai pendorong sekaligus sebagai pelaku dalam perubahan tersebut, walaupun kadarnya tidak selalu sama. Setidaknya sekenario resmi pemerintah Indonesia yang masih jadi pakem hingga saat ini., mencatat sebuah lakon yang diaktori mahasiswa, sebutlah pendirian Budi Oetomo yang dianggap sebagai pelopor nasional. Konggres Pemuda II 1928 yang menelorkan sumpah pemuda, proklamasi kemerdekaan 1945, penggulingan soekarno 1966, dan juga penggulingan kekuasaan otoritarian soeharto pada tahun 1998 lalu, semua lakon sejarah tersebut selalu mengambil mahasiswa sebagai aktor utama.
Marilah
kita diskusikan bersama pertanyaan-pertanyaan diatas, sehingga kita sebagai
mahasiswa faham akan realitas yang terjadi dan mampu menempatkan di posisi yang
tepat dan tidak mengulangi kesalahan gerakan mahasiswa sebelumnya.
Mahasiswa
adalah suatu kelompok pemuda yang diuntungkan oleh kondisi, dimana mereka dapat
menikmati pendidikan tinggi dengan segala nilai-nilai akademis yang ada dalam
pendidikan tersebut. Tak dapat dipungkiri lagi bahwa sampai saat ini status
mahasiswa masih menjadi status yang “mewah” dimata rakayat Indonesia, karena
hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang dari kelas menengah keatas. Dan
sangat sulit sekali masyarakat kelas bawah untuk bisa menikmati bangku
perkuliahan. Ketika ditanya “kenapa itu terjadi”?pasti jawaban klasik inilah
yang muncul : Biaya Kuliah Sangat Mahal Sedangkan Untuk Makan Saja Kami
Pas-Pasan. Kebebasan akademis dikampus telah memberikan ruang kesempatan bagi
mahasiswa untuk mengembangkan pola pikir melalui berbagai macam sarana,
buku-buku, teori-teori yang diperoleh dari ruang perkuliahan, akses informasi
seperti internet ditambah pola pikir yang terbentuk menjadikan mahasiswa mampu
merasakan, melihat, mengamati dan membedah setiap perkembangan realita yang
terjadi di sekelilingnya.
Di
Negara yang kondisi masyarakatnya masih terbelakang secara ekonomi, politik,
dan terbelakang dalam pendidikan seperti Indonesia, maka kelas mahasiswa
dilihat sebagai kelas yang “WAH” oleh sebagian besar rakyat Indonesia.
“Wah” dalam artian ekonomi karena cuma orang yang berduit banyak yang bisa
kuliah. Atau meminjam istilah Paulo Freire bahwa mahasiswa sudah mencapai
kesadaran kritis. Sebagaimana kita ketahui bahwa Paulo Freire membagi tahapan
kesadaran menjadi 3 yaitu : Kesadaran Magis (magical consciousness), kesadaran
naïf (naival consciousness), dan kesadaran kritis (critical consciousness).
Dapat
diuraikan bahwa kesadaran magis ialah saat rakyat tidak mampu melihat
kaitan satu faktor dengan faktor lainnya. Dan mereka hanya melihat faktor
diluar manusia (natural maupun supranatural). Dalam melihat kemiskinan maka
kecenderungan mereka akan mengatakan bahwa ini adalah takdir atau sudah diatur
sama yang mengecat lombok. Maka cara mengatasi ini hanyalah pasrah dan do’a
saja. Kesadaran naïf ini lebih melihat aspek manusia sendiri yang
jadi akar permasalahan, maka dalam melihat kemiskinan itu disebabkan oleh
manusia itu sendiri seperti malas bekerja, bodoh, tidak mempunyai skill. Oleh
karena itu untuk mengatasinya adalah enggan “Man Power
Development”. Kesadaran kritis adalah melihat system dan struktur
yang ada disekitar kita sebagai sumber masalah. Pendekatan ini menghindari
“blaming the victims”.
Maka
yang dilakukan mahasiswa sebagai kelas yang mencapai tahapan kesadaran kritis
adalah melakukan kerja-kerja penyadaran (concretization) kepada semua orang
terutama rakyat Indonesia yang saat ini masih berkubang pada tahap
kesadaran magis dan naïf. Membumi dengan rakyat adalah mutlak dilakukan
mahasiswa dengan suka rela. Kondisi objektif saat ini Indonesia masih
membutuhkan banyak intelektual organic (meminjam istilah A. Gramsci) yang
berani melakukan bunuh diri kelas demi penguatan rakyat. Hal ini mungkin terasa
bodoh dan lucu sekali ( saya yakin ini ada pada perasaan mahasiswa saat ini).
Kondisi objektif
saat ini, bangsa Indonesia berada dalam sosial yang penuh dengan
ketidak pastian dan segala kemungkinan yang unpredictable. Maka pemahaman akan
kondisi sosial-politik bangsa Indonesia pada hari ini adalah mutlak
diperlukan berbagai pihak, khususnya kaum intelektual dalam hal ini tentunya
mahasiswa.
Sejarah dengan posisi
mahasiswa didalam peran masyarakat seperti terkemuka diatas, dikenal dua pokok
yang selalu tampil mewarnai sejarah aktivitas selama ini. Pertama ialah sebagai
kekuatan koreksi (kontrol) terhadap penyimpangan yang terjadi didalam berbagai
aspek kehidupan masyarakat, kedua yaitu sebagai penerus kesadaran masyarakat
luas akan problema yang ada dan menstransformasikan kesadaran itu untuk
menerima alternatif perubahan yang dikemukakan atau didukung oleh mahasiswa itu
sendiri, sehingga masyarakat berubah kearah kemajuan yang progesif.