Home » , , , , , » MAKALAH: MEMAHAMI PERKEMBANGAN ISLAMISASI DI INDONESIA

MAKALAH: MEMAHAMI PERKEMBANGAN ISLAMISASI DI INDONESIA



BAB I
PENDAHULUAN

1.1.         LATAR BELAKANG
     Sejarah Islam di Asia Tenggara, khususnya pada masa awal, luar biasa “rumit”. dan kerumitan itu bukan hanya disebabkan oleh kompleksitas di sekitar slam itu sendiri sebagaimana direfleksikan oleh kaum muslimin di kawasan ini, baik melalui historiografi maupun dalam praktek kehidupan sehari-hari, melainkan juga karena pengkajian-pengkajian sejarah Islam dengan berbagai aspeknya di Asia Tenggara ─baik yang dilakukan kalangan sejarawan asing maupun pribumi─ hingga kini belum mampu merumuskan suatu paradigma historis yang dapat dijadikan pegangan bersama. Terdapat perbedaan-perbedaan dasar di kalangan para ahli dalam mengkaji Islam di Asia Tenggara, yang kadang-kadang sulit dipertemukan satu sama lain (Azyumardi Azra, 1999: 27).
Perbedaan-perbedaan yang ada mengenai sejarah Islamisasi di nusantara ini memiliki banyak permasalahan yang rumit di antaranya  adalah ketersediaan data yang sangat terbatas tentang kedatangan Islam, sebagaimana yang disampaikan Snouck Hurgronje dalam orasi ilmiahnya di Leiden dalam tahun 1907 M (Drewes, 1968: 434; Berg, 1955: 112; Munandar dkk: 65). Selain itu perbedaan-perbedaan mengenai awal sejarah Islam itu sendiri karena banyak ketidaksepakatan di antara para sarjana dan peneliti mengenai makna “Islam” yang sesungguhnya, maka sebagai konsekuensinya juga tidak ada kesepakatan tentang penetrasinya ke Nusantara (Azra: 17)
Islamisasi merupakan suatu proses yang sangat penting dalam sejarah Islam di Indonesia yaitu sejarah tentang berdirinya kekuasaan sosio politik Islam di bumi Nusantara.





BAB II
PEMBAHASAN

2.1. PROSES MASUKNYA ISLAM DI INDONESIA
     Masuknya agama dan budaya Islam ke Indonesia dipengaruhi oleh adanya hubungan perdagangan Asia kuno, yang dilakukan oleh bangsa Cina dan India, yang mendorong pedagang lainnya seperti pedagang dari Arab, Persia, Gujarat untuk ikut serta dalam hubungan perdagangan tersebut. Hal itu menyebabkan kota-kota pelabuhan yang berfungsi sebagai tempat transit ramai dikunjungi orang, sehingga dapat berkembang menjadi pusat-pusat perdagangan dunia. Dari hubungan perdagangan tersebut, mereka dapat saling mengenal budaya yang dibawa oleh masing-masing pedagang yang dapat dilihat dari bahasa, barang dagangan yang dibawa maupun dari corak hidup. Untuk itu banyak pedagang Arab, Persia, dan Gujarat yang menetap dan menikah dengan penduduk setempat, sehingga budaya Islam dan agama Islam dapat dengan mudah disebarkan di berbagai wilayah Indonesia melalui pendekatan budaya.
     Dalam masa kedatangan dan penyebaran Islam di Indonesia, terdapat kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu. Di Sumatra terdapat kerajaan Sriwijaya dan Melayu; di Jawa, Majapahit; di Sunda, Pajajaran; dan di Kalimantan, Daha dan Kutai.
Agama Islam yang datang ke Indonesia mendapat perhatian khusus dari kebanyakan rakyat yang telah memeluk agama Hindu. Agama Islam dipandang lebih baik oleh rakyat yang semula menganut agama Hindu, karena Islam tidak mengenal kasta, dan Islam tidak mengenal perbedaan golongan dalam masyarakat. Daya penarik Islam bagi pedagang-pedagang yang hidup di bawah kekuasaan raja-raja Hindu agaknya ditemukan pada pemikiran orang kecil. Islam memberikan sesuatu persamaan bagi pribadinya sebagai anggota masyarakat muslim. Sedangkan menurut alam pikiran agama Hindu, ia hanyalah makhluk yang lebih rendah derajatnya daripada kasta-kasta lain. Di dalam Islam, ia merasa dirinya sama atau bahkan lebih tinggi dari pada orang-orang yang bukan muslim, meskipun dalam struktur masyarakat menempati kedudukan bawahan.
     Proses islamisasi di Indonesia terjadi dan dipermudah karena adanya dukungan dua pihak: orang-orang muslim pendatang yang mengajarkan agama Islam dan golongan masyarakat Indonesia sendiri yang menerimanya. Dalam masa-masa kegoncangan politik, ekonomi, dan sosial budaya, Islam sebagai agama dengan mudah dapat memasuki dan mengisi masyarakat yang sedang mencari pegangan hidup, terlebih lagi cara yangg ditempuh oleh orang-orang muslim dalam menyebarkan agama Islam adalah  menyesuaikan dengan kondisi sosial budaya yang telah ada. Dengan demikian, pada tahap permulaan islamisasi dilakukan dengan saling pengertian akan kebutuhan dan disesuaikan dengan kondisi masyarakatnya. Pembawa dan penyebar agama Islam pada masa-masa permulaan adalah golongan pedagang, yang sebenarnya menjadikan faktor ekonomi perdagangan sebagai pendorong utama untuk berkunjung ke Indonesia. Hal itu bersamaan waktunya dengan masa perkembangan pelayaran dan perdagangan internasional antara negeri-negeri di bagian barat, tenggara, dan timur Asia. Kedatangan pedagang-pedagang muslim seperti halnya yang terjadi dengan perdagangan sejak zaman Samudra Pasai dan Malaka yang merupakan pusat kerajaan Islam yang berhubungan erat dengan daerah-daerah lain di Indonesia, maka orang-orang Indonesia dari pusat-pusat Islam itu sendiri yang menjadi pembawa dan penyebar agama Islam ke seluruh wilayah kepulauan Indonesia.


2.2. FAKTOR PENYEBAB ISLAM CEPAT BERKEMBANG DI INDONESIA
Faktor internal yang menyebabkan perkembangan islam cepat di Indonesia:
a)      Ajarannya sederhana, mudah dimengerti dan diterima
b)      syarat untuk masuk islam sangat mudah, yaitu hanya dengan mengucapkan kalimat syahadat
c)      agama islam tidak mengenal kasta, sehingga semua orang boleh untuk memeluk agama
d)     upacara-upacara keagamaan besifat sederhana
e)      islam disebarkan secara damai lewat pendekatan budaya
f)       jatuhnya Kerajaan Majapahit dan Sriwijaya menyebabkan kerajaan islam berkembang pesat.
Sedangkan faktor eksternal yang mendorong perkembangan islam di Indonesia adalah sebagai berikut:
a)      Jatuhnya kota Bagdad kepada bangsa Mongolia pada tahun 1258 M, menyebabkan gelombang urbanisasi ke India dan asia Tengah secara besar-besaran
b)      Banyaknya para sufi, penganut tarikat, mengembara bersedia mendakwahkan Islam dengan suka rela ke seluruh dunia
c)      Jaringan perdagangan internasional, dijadikan sebagai sarana penyebaran ajaran Islam.

2.3. SALURAN – SALURAN MASUKNYA ISLAM DI INDONESIA
Menurut Uka Tjandrasasmita, saluran-saluran islamisasi yang berkembang ada enam, yaitu:
1.      Saluran Perdagangan
Pada taraf permulaan, saluran islamisasi adalah perdagangan. Kesibukan lalu lintas perdagangan pada abad ke-7 hingga ke-16 M. membuat pedagang-pedagang Muslim (Arab, Persia dan India) turut ambil bagian dalam perdagangan dari negeri-negeri bagian barat, tenggara dan Timur Benua Asia. Saluran Islamisasi melalui perdagangan ini sangat menguntungkan karena para raja dan bangsawan turut serta dalam kegiatan perdagangan, bahkan mereka menjadi pemilik kapal dan saham. Mengutip pendapat Tome Pires berkenaan dengan saluran Islamisasi melalui perdagangan ini di pesisir Pulau Jawa, Uka  Tjandrasasmita menyebutkan bahwa para pedagang Muslim banyak yang bermukim di pesisir pulau Jawa yang penduduknya ketika itu masih kafir. Mereka berhasil mendirikan masjid-masjid dan mendatangkan mullah-mullah dari luar sehingga jumlah mereka menjadi banyak, dan karenanya anak-anak Muslim itu menjadi orang Jawa dan kaya-kaya. Di beberapa tempat, penguasa-penguasa Jawa, yang menjabat sebagai bupati-bupati Majapahit yang ditempatkan di pesisir utara Jawa banyak yang masuk Islam, bukan hanya karena factor politik dalam negeri yang sedang goyah, tetapi terutama karena faktor hubungan ekonomi dengan pedagang-pedagang Muslim.
2.  Saluran Perkawinan
Dari sudut ekonomi, para pedagnang Muslim memiliki status sosial yang lebih baik dari pada kebanyakan pribumi, sehingga penduduk pribumi, terutama putri-putri bangsawan, tertarik untuk menjadi istri para saudagar itu. Sebelum melaksanakan perkawinan, mereka diislamkan terlebih dahulu. Setelah mereka mempunyai keturunan, lingkungan mereka makin luas. Akhirnya, timbul kampung-kampung, daerah-daerah dan kerajaan-kerajaan Muslim. Dalam perkembangan berikutnya, ada pula wanita Muslim yang dikawani oleh keturunan bangsawan. Jalur perkawinan ini lebih menguntungkan apabila terjadi antara saudagar Muslim dengan anak bangsawan atau anak raja dan anak adipati, karena hal tersebut turut mempercepat proses Islamisasi. Demikianlah yang terjadi antara Raden Rahmat atau Sunan Ampel dengan Nyai Manila, Sunan Gunung Jati dengan Nyai Kawunganten, Brawijaya dengan putri Campa yang menurunkan Raden Patah (raja pertama Demak) dan lain-lain.

3.  Saluran Tasawuf
Pengajar-pengajar tasawuf atau para sufi, mengajarkan teosofi yang bercampur dengan ajaran yang sudah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Mereka mahir dalam soal-soal magis dan mempunyai kekuatan-kekuatan menyembuhkan. Di antara mereka ada juga yang mengawini putri-putri bangsawan setempat. Dengan tasawuf, “bentuk” Islam yang diajarkan kepada penduduk pribumi mempunyai persamaan dengan alam pikiran mereka yang sebelumnya menganut agama Hindu, sehingga agama baru itu mudah dimengerti dan diterima. Diantara ahli-ahli tasawuf yang memberikan ajaran yang mengandung persaman dengan alam pikiran Indonesia pra-Islam itu adalah Hamzah Fansuri di Aceh, Syeikh Lemah Abang, dan Sunan Panggung di Jawa. Ajaran mistik seperti ini masih berkembang di abad ke-19 bahkan di abad ke-20 M ini.

4.      Saluran Pendidikan
Islamisasi juga dilakukan melalui pendidikan, baik pesantren maupun pondok yang diselenggarakan oleh guru-guru agama, kiai-kiai, dan ulama-ulama. Di pesantren atau pondok itu, calon ulama, guru agama, dan kiai mendapat pendidikan agama. Setelah keluar dari pesantren, mereka pulang ke kampong masing-masing kemudian berdakwah ke tempat tertentu mengajarkan Islam. Misalnya, pesantren yang didirikan oleh Raden Rahmat di Ampel Denta Surabaya dan Sunan Giri di Giri. Keluaran pesantren Giri ini banyak yang diundang ke Maluku untuk mengajarkan agama Islam.

5.  Saluran Kesenian
Saluran Islamisasi melaui kesenian yang paling terkenal adalah pertunjukan wayang. Dikatakan, Sunan Kalijaga adalah tokoh yang paling mahir dalam mementaskan wayang. Dia tidak pernah meminta upah pertunjukan, tetapi ia meminta para penonton untuk mengikutinya mengucapkan kalimat syahadat. Sebagian besar cerita wayang masih dipetik dari cerita Mahabharata dan Ramayana, tetapi di dalam cerita itu disisipkan ajaran dan nama-nama pahlawan Islam. Kesenian-kesenian lain juga dijadikan alat Islamisasi, seperti sastra (hikayat, babad dan sebagainya), seni bangunan dan seni ukir.
6.  Saluran Politik
Di Maluku dan Sulawesi Selatan, kebanyakan rakyat masuk Islam setelah rajanya masuk Islam terlebih dahulu. Pengaruh politik raja sangat berpengaruh tersebarnya Islam di daerah ini. Di samping itu, baik di Sumatera dan Jawa maupun di Indonesia bagian Timur, demi kempentingan politik, kerajaan-kerajaan Islam memerangi kerajaan-kerajaan non-Islam. Kemenangan kerajaan Islam secara poltik banyak menarik penduduk kerajaan bukan Islam itu masuk Islam.


2.4. TAHAP – TAHAP PERKEMBANGAN ISLAM DI INDONESIA
1. Kehadiran para pedagang Muslim (7 - 12 M)
Fase ini diyakini sebagai fase permulaan dari proses sosialisasi Islam di kawasan Asia Tenggara, yang dimulai dengan kontak sosial budaya antara pendatang Muslim dengan penduduk setempat.
Pada fase pertama ini, tidak ditemukan data mengenai masuknya penduduk asli ke dalam Islam. Bukti yang cukup jelas mengenai hal ini baru diperoleh jauh kemudian, yakni pada permulaan abad ke-13 M / 7 H. Sangat mungkin dalam kurun abad ke 1 sampai 4 H terdapat hubungan perkawinan antara pedagang Muslim dengan penduduk setempat, hingga menjadikan mereka beralih menjadi Muslim. Tetapi  ini baru pada tahap dugaan.
Walaupun di Leran - Gresik, terdapat sebuah batu nisan bertuliskan  Fatimah binti Maimun yang wafat pada tahun 475 H / 1082 M.  Namun dari bentuknya, nisan itu menunjukkan pola gaya hias makam dari abad ke-16 M seperti yang ditemukan di Campa, yakni berisi tulisan yang berupa do'a-do'a kepada Allah. Sehingga ada yang berpendapat bahwa penulis nisan itu adalah seorang Syi'ah. Ini diketahui karena mereka adalah Muslim pendatang yang sebelumnya bermukim di Timur Jauh.
2. Terbentuknya kerajaan Islam (13-16M)
Pada fase kedua ini, Islam semakin tersosialisasi dalam masyarakat Nusantara dengan mulai terbentuknya pusat kekuasaan Islam. Kerajaan Samudera Pasai diyakini sebagai kerajaan Islam pertama di Indonesia. Bukti paling kuat yang menjelaskan tentang itu adalah ditemukannya makam Malik al-Shaleh yang terletak di kecamatan Samudera di Aceh Utara. Makam tersebut menyebutkan bahwa, Malik al-Shaleh wafat pada bulan Ramadhan 696 H/ 1297 M. Dalam Hikayat Raja-Raja Pasai dan Sejarah Melayu Malik, dua teks Melayu tertua, Malik al-Shaleh digambarkan sebagai penguasa pertama kerajaan Samudera Pasai.
Pada akhir abad ke-13 kerajaan Samudera Pasai merebut jalur perdagangan di Selat Malaka yang sebelumnya dikuasai oleh kerajaan Sriwijaya. Hal ini terus berlanjut hingga pada permulaan abad ke-14 berdiri kerajaan Malaka di Semenanjung Malaysia
Sultan Mansyur Syah (w. 1477 M) adalah sultan keenam Kerajaan Malaka yang membuat Islam sangat berkembang di Pesisir timur Sumatera dan Semenanjung Malaka. Di bagian lain, di Jawa saat itu sudah memperlihatkan bukti kuatnya peranan kelompok Masyarakat Muslim, terutama di pesisir utara. Kehadiran makam-makam kuno di Troloyo dekat Trowulan, dengan angka tahun tertua yang tertulis adalah 1290 caka 1368-1369M telah menarik perhatian tentang kemungkinan adanya masyarakat Muslim di dekat pusat kerajaan Majapahit. Dan sejak akhir abad ke-15  pusat-pusat perdagangan di pesisir utara, yakni Gresik, Demak, Cirebon dan Banten telah menunjukkan kegiatan keagamaan oleh para wali di Jawa. Kegiatan itu mulai tampak sebagai kekuatan politik di pertengahan abad ke-16 ketika kerajaan  Demak sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa berhasil merebut ibukota Majapahit. Sejak itu perkembangan Islam di Jawa telah dapat berperan secara politik, di mana para wali dengan bantuan kerajaan Demak, kemudian Pajang dan Mataram dapat meluaskan perkembangan Islam tidak saja ke seluruh daerah-daerah penting di Jawa, tetapi juga di luar Jawa, khususnya oleh para mubaligh (da'i) di Gresik dan Demak.  Mereka bahkan berhasil meluaskan pengaruh Islam ke Banjarmasin, Hitu, Ternate dan Tidore serta Lombok.


3. Pelembagaan Islam
Pada fase ini sosialisasi Islam semakin tak terbendung lagi masuk ke pusat-pusat kekuasaan, merembes terus sampai hampir ke seluruh wilayah Nusantara. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari peranan para penyebar dan pengajar Islam. Mereka menduduki berbagai jabatan dalam struktur birokrasi kerajaan, dan banyak diantara mereka melakukan perkawinan dengan penduduk pribumi. Dengan kata lain, Islam dikukuhkan di pusat-pusat kekuasaan di Nusantara melalui jalur perdagangan, perkawinan dengan elit birokrasi dan ekonomi, di samping dengan sosialisasi langsung pada masyarakat bawah.
Pengaruh islamisasi yang pada awalnya hanya berpusat di Pasai telah jauh meluas ke Aceh di Pesisir Sumatera, semenanjung Malaka, Demak, Gresik, Banjarmasin, lombok, dsb. Ini terbukti dengan ditemukannya bentuk-bentuk makam di semenanjung Malaka, terutama batu nisannya, yang menyerupai bentuk-bentuk batu nisan di Aceh. Di komplek pemakaman Sultan Suriansyah (Raden Samudra) yang terletak di Kuwin, Banjarmasin, terdapat batu nisan yang mempunyai tipologi sama dengan bentuk nisan Demak dan Gresik. Begitu pula di komplek pemakaman kuno Seloparang -menurut tradisi setempat diislamkan Sunan Prapen dari Giri- ditemukan sebuah batu nisan yang memiliki gaya Jawa Timur.
Untuk daerah Sulawesi, walaupun beberapa tempat seperti Buton dan Selayar berdasarkan tradisi setempat telah menerima pengaruh Islam dari Ternate pada pertengahan abad ke-16, namun bukti yang lebih nyata menunjukkan bahwa hal itu terjadi ketika Raja Gowa pertama yang bernama I Mallingkaeng Daeng Njonri Karaeng Katangka masuk Islam pada hari Jum'at Jumadil Awal 1014 H/ 22 September 1605 M, yang disusul dua tahun kemudian rakyat Gowa dan Tallo diislamkan, seperti terbukti dengan dilakukannya shalat Jum'at bersama di Tallo pada 19 Rajab 1068 H/ Nopember 1607 M.  Kejadian ini dapat dianggap sebagai titik penting dalam perkembangan Islam di Sulawesi. Penyebar agama Islam di daerah ini ialah seorang ulama asal Minangkabau, bernama Abdul Ma'mur Chatib Tunggal (lebih terkenal dengan Dato ri Bandang) dan dua temannya Chatib Sulaiman (bergelar Dato ri Pattimang) untuk daerah Luwu, dan Chatib Bungsu untuk daerah Tiro.
Daerah Lombok dan Sumbawa mendapat pengaruh islamisasi dari dua arah. Pada tahap awal, sekitar abad ke-16 M, pengaruh itu berasal dari Jawa dengan tokoh penyebarnya Sunan Prapen, dan selanjutnya pada abad ke-17 dari daerah Gowa. Ini terbukti pada makam kuno di Bima terlihat adanya pengaruh bentuk nisan dan jirat seperti makam-makam kuno di Tallo atau di Tamalatte (Gowa), dan di Seloparang terlihat adanya bentuk Jawa Timur dan Bugis-Makasar.
Di Kalimantan, daerah yang nampaknya pertama kali menyambut kehadiran Islam adalah Banjarmasin (sekitar 1550 M). Hal ini tidak bisa dilepaskan dari hubungan ekonomi yang sejak pra-Islam telah terjalin antara daerah ini dengan daerah utara Jawa, terutama dengan kerajaan Demak. Di Kalimantan Timur, daerah yang pertama mendapat pengaruh  Islam adalah Kutai, dengan tokoh penyebarnya Dato ri Bandang dan temannya Tuan Tunggang Parangan setelah keduanya berhasil mengislamkan Raja Mahkota dari kerajaan Kutai sekitar tahun 1575 M. Di Kalimantan Barat Islam tampaknya menyebar kemudian. Kota Waringin misalnya, menerima Islam setelah Banjarmasin, sedangkan daerah lebih ke barat seperti Sambas, Pontianak dan sebagainya tidak ada keterangan yang jelas kapan Islam masuk daerah ini. Proses islamisasi di Nusantara, terutama pada fase ketiga ini, diwarnai oleh pergulatan antar imperium di satu sisi -di mana Raja yang telah terislamkan mempunyai peran yang signifikan dalam mengislamkan rakyatnya- dengan aktivitas komunikasi yang dibangun oleh para penyebar Islam -pedagang, musafir, ulama, dan kaum sufi- di sisi yang lain, yang berdampak semakin diakuinya peranan mereka dalam struktur komunitas pribumi. Bahkan dari naskah-naskah kuno abad 17-19 disebutkan bahwa ulama, wali dan penyebar Islam berfungsi sebagai pendukung legitimasi kekuasaan Raja. Legitimasi tersebut antara lain dilakukan melalui isyarat-isyarat geneologis maupun kesinambungan keturunan. Ini diperlukan agar transformasi Islam tidak menimbulkan chaos dan disharmoni. Contoh legitimasi itu seperti yang dituturkan dalam Babad Tanah Jawi, yakni peristiwa ketika Sunan Giri memerintahkan Sunan Prapen untuk hadir dalam pentasbihan Sultan Pajang yang kemudian bergelar Sultan Prabu Adiwijaya. Hal yang sama juga terefleksikan dalam kehadiran Wijil Adilangu (Demak) pada pelantikan Pangeran Puger sebagai Paku Buwana I di Semarang (1970). Dari penjelasan di atas, bisa dikatakan bahwa sampai permulaan abad ke-17 Islam sudah merata diterima hampir di seluruh wilayah Nusantara. Fenomena lain yang cukup menarik adalah, pada fase awal yakni abad ke-1-5 H, Islam berkembang dengan kekuatan para musafir dari Arab, Persia, Gujarat dan lainnya. Pada sekitar abad ke-5 diantara penyebar Islam itu terdapat para ulama dan sufi. Pada abad ke 14 dan sesudahnya Islam disebarkan oleh para mubaligh atau ulama  pribumi seperti Sunan Prapen, Chatib Dayan, Dato ri Bandang dan Dato Sulaiman. Juga dalam perkembangannya di Nusantara, Islam telah diterima dengan jalan damai. Hampir tidak pernah ada ekspedisi militer untuk islamisasi ini.

2.5. TEORI – TEORI PERKEMBANGAN ISLAM DI INDONESIA
     Kepastian kapan dan dari mana Islam masuk di Nusantara memang tidak ada kejelasan. Setidaknya ada tiga teori yang mencoba menjelaskan tentang itu. Yaitu: Teori Gujarat, Teori Makkah, dan Teori Persia. Munculnya tiga teori yang berbeda ini,disinyalir oleh Ahmad Mansur Suryanegara, akibat dari kurangnya informasi yang bersumber dari fakta peninggalan agama Islam di Nusantara. Inskripsi tertua tentang Islam tidak menjelaskan tentang kapan masuknya Islam di Nusantara. Pada inskripsi tertua itu hanya membicarakan tentang adanya kekuasaan politik Islam, Samudera Pasai pada abad ke-13 Masehi. Selain itu karena sulitnya memastikan kapan masuknya Islam di Nusantara dihadapkan pada luasnya wilayah kepulauan Nusantara (Suryanegara, 1995:73). Ketiga teori tersebut berbeda pendapat mengenai: waktu masuknya Islam, asal negara yang menjadi perantara atau sumber tempat pengambilan ajaran agama Islam, dan pelaku penyebar atau pembawa Islam ke Nusantara.
1.      Teori Gujarat
Teori ini merupakan teori tertua yang menjelaskan tentang masuknya Islam di Nusantara. Dinamakan Teori Gujarat, karena bertolak dari pandangannya yang mengatakan bahwa Islam masuk ke Nusantara berasal dari Gujarat, pada abad ke-13 M, dan pelakunya adalah pedagang India Muslim.
Snouck Hurgronje lebih menitikberatkan pandangannya ke Gujarat berdasarkan pada: Pertama, kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran Islam di Nusantara. Kedua, adanya kenyataan hubungan dagang India-Indonesia yang telah lama terjalin. Ketiga, inskripsi tertua tentang Islam yang terdapat di Sumatera memberikan gambaran hubungan antara Sumatera dan Gujarat.
Dalam bukunya De Islam en Zijn Komst In de Archipel, ia menyakini  bahwa Islam masuk ke Nusantara pada abad ke-13 dengan daerah asal Gujarat di dasarkan pada: pertama, bukti batu nisan. Sutterheim menjelaskan bahwa relif nisan tersebut bersifat Hinduistis yang mempunyai kesamaan dengan nisan yang terdapat di Gujarat. Kedua, adanya kenyataan bahwa agama Islam disebarkan melalui jalan dagang antara Indonesia-Cambai (Gujarat)-Timur Tengah-Eropa. Sultan pertama Kerajaan Samudera Pasai, yakni Malik al-Shaleh yang wafat pada 1297 Bernard H.M. Vlekke dalam bukunya Nusantara: a History of Indonesia, mendasarkan argumennya pada keterangan Marco Polo yang pernah singgah di Sumatera untuk menunggu angin pada tahun 1292. Di sana disebutkan tentang situasi ujung utara Sumatera bahwa, di Perlak penduduknya telah memeluk Islam. Selanjutnya Bernard H.M. Vlekke menandaskan bahwa Perlak merupakan satu-satunya daerah Islam di Nusantara saat itu. Dengan demikian sarjana Barat ini merasa mengetahui dengan pasti kapan dan di mana Islam masuk ke Nusantara. Apalagi kemudian menurutnya, keterangan ini diperkuat dengan inskripsi tertua di Sumatera yang berupa nisan (Sultan Malik al-Shaleh) berangka tahun 1297, di mana lokasinya terletak di desa Samudera, 100 mil dari Perlak.
Dari berbagai argumen yang dikemukakan oleh para pendukung teori Gujarat di atas, nampak sekali mereka sangat Hindu Sentris, seakan-akan segala perubahan sosial, politik, ekonomi, budaya dan agama di Nusantara tidak bisa dilepaskan dari pengaruh India. Di samping itu juga kebanyakan mereka lebih memusatkan
perhatiannya pada saat timbulnya kekuasaan politik Islam di Nusantara. Seakan-akan Islam masuk di Nusantara dan langsung menguasai struktur politik di sana. Padahal tidak dapat dipungkiri bahwa Islam masuk di Indonesia melalui infiltrasi kultural oleh para pedagang Muslim dan para Sufi.
2.      Teori Arab
Menurut teori Arab, islam baru masuk pada abad 13 karena kenyataanya di Nusantara pada abad itu telah berdiri suatu kekuatan politik Islam, maka sudah tentu Islam masuk jauh sebelumnya yakni abad ke-7 Masehi  atau pada abad pertama Hijriyah. Bila dihubungkan dengan penjelasan kepustakaan Arab kuno di dalamnya disebutkan al-Hind sebagai India atau pulau-pulau sebelah timurnya sampai ke Cina, dan Indonesia pun disebut sebagai pulau-pulau Cina, maka besar kemungkinan pada abad ke-2 SM bangsa Arab telah sampai ke Indonesia. Bahkan sebagai bangsa asing yang pertama datang ke Nusantara. Karena bangsa India dan Cina baru mengadakan hubungan  dengan Indonesia pada abad 1 M. Sedangkan hubungan Arab dengan Cina terjadi jauh lebih lama, melalui jalan darat menggunakan "kapal sahara", jalan darat ini sering disebut sebagai "jalur sutra", berlangsung sejak 500 SM.
Kalau demikian halnya hubungan antara Arab dengan negara-negara Asia lainnya, maka tidaklah mengherankan bila pada 674 M telah terdapat perkampungan perdagangan Arab Islam di Pantai Barat Sumatera, bersumber dari berita Cina.
Dari keterangan tentang peranan bangsa Arab dalam dunia perniagaan seperti di atas, kemudian dikuatkan dengan kenyataan sejarah adanya perkampungan Arab Islam di pantai barat Sumatera di abad ke-7, maka terbukalah kemungkinan peranan bangsa Arab dalam memasukkan Islam ke Nusantara.
3.      Teori Persia
Pencetus teori ini adalah P.A. Hoesein Djajadiningrat. Teori ini berpendapat bahwa agama Islam yang masuk ke Nusantara berasal dari Persia, singgah ke Gujarat, sedangkan waktunya  sekitar abad ke-13. Nampaknya fokus Pandangan teori ini berbeda dengan teori Gujarat dan Makkah, sekalipun mempunyai kesamaan masalah Gujaratnya, serta Madzhab Syafi'i-nya. Teori yang terakhir ini lebih menitikberatkan tinjauannya kepada kebudayaan yang hidup di kalangan masyarakat Islam Indonesia yang dirasakan memiliki persamaan dengan Persia (Morgan, 1963:139-140). Di antaranya adalah:
Pertama, Peringatan 10 Muharram atau Asyura sebagai hari peringayan Syi'ah atas syahidnya Husein. Peringatan ini berbentuk pembuatan bubur Syura. Di Minangkabau bulan Muharram disebut bulan Hasan-Husein. Di Sumatera Tengah sebelah barat disebut bulan Tabut, dan diperingati dengan mengarak keranda Husein untuk dilemparkan ke sungai. Keranda tersebut disebut tabut diambil dari bahasa arab.
Kedua, adanya kesamaan ajaran antara Syaikh Siti Jenar dengan ajaran Sufi Iran al-Hallaj, sekalipun al-Hallaj telah meninggal pada 310H / 922M, tetapi ajarannya berkembang terus dalam bentuk puisi, sehingga memungkinkan Syeikh Siti Jenar yang hidup pada abad ke-16 dapat mempelajarinya.
Ketiga, penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab, untuk tanda-tanda bunyi harakat dalam pengajian al-Qur`an tingkat awal:

Bahasa Iran                                                            Bahasa Arab
jabar - zabar                                                                  fathah
jer - ze-er                                                                      kasrah
p'es - py'es                                                                  dhammah
Huruf Sin yang tidak bergigi berasal dari Persia, sedangkan Sin bergigi berasal dari Arab.
Keempat, nisan pada makam Malik Saleh (1297) dan makam Malik Ibrahim (1419) di Gresik dipesan dari Gujarat. Dalam hal ini teori Persia mempunyai kesamaan muthlak dengan teori Gujarat.
Kelima, pengakuan umat Islam Indonesia terhadap madzhab Syafi'i sebagai madzhab utama di daerah Malabar. Di sini ada sedikit kesamaan dengan teori Makkah, cuman yang membedakannya adalah P.A. Hoesein Djajadiningrat di satu pihak melihat salah satu budaya Islam Indonesia kemudian dikaitkan dengan kebudayaan Persia, tetapi dalam memandang madzhab Syafi'i terhenti ke Malabar, tidak berlanjut sampai ke pusat madzhab itu, yakni di Makkah.
Kritikan untuk teori Persia ini dilontarkan oleh K.H. Saifuddin Zuhri. Ia menyatakan sukar untuk menerima pendapat tentang kedatangan Islam ke Nusantara berasal dari Persia. Alasannya bila kita berpedoman pada masuknya Islam ke Nusantara pada abad ke-7, hal ini berarti terjadi pada masa kekuasaan Khalifah Umayyah. Saat itu kepemimpinan Islam di bidang politik, ekonomi dan kebudayaan berada di tangan bangsa Arab, sedangkan pusat pergerakan Islam berkisar di Makkah, Madinah, Damaskus dan Bagdad, jadi belum mungkin Persia menduduki kepemimpinan dunia Islam (Zuhri, 1979:188).
Dari uraian tentang tiga teori masuknya Islam ke Nusantara di atas, dapat dilihat beberapa perbedaan dan kesamaannya:
Pertama, teori Gujarat dan Persia mempunyai persamaan pandangan mengenai masuknya agama Islam ke Nusantara  berasal dari Gujarat. Perbedaannya terletak pada teori Gujarat yang melihat ajaran Islam di Indonesia mempunyai kesamaan ajaran dengan mistik di India. Sedangkan teori Persia memandang adanya kesamaan dengan ajaran Sufi di Persia. Gujarat dipandangnya sebagai daerah yang dipengaruhi oleh Persia, dan menjadi tempat singgah ajaran Syi'ah ke Indonesia.
Kedua, dalam hal Gujarat sebagai tempat singgah, teori Persia mempunyai persamaan dengan teori Makkah, tetapi yang membedakannya adalah teori Makkah memandang Gujarat sebagai tempat singgah perjalanan perjalanan laut antara Indonesia dengan Timur Tengah, sedangkan ajaran Islam diambilnya dari Makkah atau dari Mesir.
Ketiga, teori Gujarat dan Persia keduanya tidak memandang peranan bangsa Arab dalam perdagangan, juga tidak dalam islamisasi di Nusantara. Dalam hal ini keduanya lebih memandang pada peranan orang India  Muslim. Oleh karena itu bertolak dari laporan Marco Polo keduanya meyakini Islam masuk di Nusantara pada abad ke-13. Sebaliknya teori Makkah lebih meyakini Islam masuk di Nusantara pada abad ke-7, karena abad ke-13 dianggap sebagai saat-saat perkembangan Islam di Nusantara.
Keempat, dalam melihat sumber negara yang mempengaruhi Islam di Nusantara, teori Makkah lebih berpendirian pada Makkah dan Mesir dengan mendasarkan tinjauannya pada besarnya pengaruh madzhab Syafi'i di Indonesia. Sedangkan teori Persia, meskipun mengakui pengaruh madzhab Syafi'i di Indonesia tetapi, bagi teori ini, hal itu merupakan pengaruh madzhab Syafi'i yang berkembang di Malabar, oleh karena itu teori ini lebih menunjuk India sebagai negara asal Islam Indonesia.
Walaupun dari analisa perbandingan di atas ketiga teori tersebut lebih menampakkan tajamnya perbedaan dari pada persamaan, namun ada titik temu yang bisa disimpulkan yakni, bahwa pertama, Islam masuk dan berkembang di Nusantara melalui jalan damai (infiltrasi kultural), dan kedua, Islam tidak mengenal adanya missi sebagaimana yang dijalankan oleh kalangan Kristen dan Katolik.
2.6. CORAK ISLAM DI INDONESIA

1.      Paham Syi’ah
Paham syi’ah masuk ke Indonesia ketika pertengahan abad IV H terjadi perebutan kekuasaan di Tunis (Afrika Utara) yang dilakukan oleh kaum Fathimah melawan raja-raja Abbasiyah. Rajanya yang pertama bernama al-Qayyim bin Ubaidillah yang memwerintah Tunisia dan sekitarnya pada tahun 313 H. Kerajaan Fatimiyah meluaskan wilayahnya dan menguasai Mesir pada tahun 341 H, dengan sultannya yang bernama al-Muiz Li Dinillah (341 H). Kekuasaan Bani Fatimiyah berajalan lama sampai 250 tahun, yaitu sampai tahun 564 H, ketika diambil alih oleh Salahudin al-Ayyubi pembebas Palestina yang terkenal. Bani Fatimiyah ini menganut faham syi’ah. Raja-raja Islam Bani Fatimiyah ini mengirim mubaligh-mubaligh ke Indonesia pada abad IV samapai VI H. bahkan mengirim juga angkatan lautnya untuk membantu fatwa-fatwa Syi’ah, untuk mendirikan kerajaan-kerajaan bermazhab Syi’ah. Sultan-sultan yang ada di kerajaan pada masa awal itu hampir semuanya adalah para mubalig yang dikirim Bani Fatimiyah.
Kesimpulannya umat Islam Indonesia pada abad IV-VI H atau abad XI-XII M, diliputi oleh pelajaran-pelajaran Syi’ah yang samapai sekarang masih tinggal bekas-bekasnya. Kita bisa melihat di jawa gelar-gelar Sayyidin, Paku, Qutb, Kuda Kepang. Pelajaran-pelajaran ratu Adil kesemuanya berasal dari mazhab Syi’ah. Kabarnya juga permainan kuda kepang memperlihatkan kepandaian kuda yang dikendarai oleh sayyidina Husen ketika berperang di Karbala Irak.

2.      Paham Syafi’i
Kekuasaan bani fatimiyah di Mesir diambil alaih oleh sultan salahuddin al-ayyubi pada pertengahan abad VI H/XII M. kekuasaan bani Ayyubiyah berjalan selama 42 tahun dan kemudian digantikan oleh kerajaan mamalik (mamluk) sampai akhir abad IX H atau permulaan abad XVI M. Sebagai dimaklumi dalam sejarah bahwa kearajaaan Ayyubiyah maupun kerajaan mamluk adalah penganut yang gigih dalam menegakkan ahlussunnah yang bermazhab Sunni. Raja mamluk juga memperhatikan perkembangan Islam yang ada di Indonesia. Diantara mubalig Islam dari kerajaan Mamluk adalah orang yang bernama Ismail as-Siddiq yang datang ke Pasai mengajaran agama Islam. Dengan usaha beliau ini umat Islam di Pasai menganut paham Syafi’I kembali dan bahkan mengganti sultan Syi’ah dengan sultan orang Indonesia asli yang bermazhab Syafi’I dengan nama Sultan malikussaleh (1285-1297 M). Catatan-catatan Ibnu Batutah dalam perjalanannya sangat menolong ahli sejarah untuk mencarai kebenaran sejarah, karena selain catatannya lengkap juga jujur.
Ibnu batutah mengatakan bahwa ia singgah di negeri pasai tatkala diutus oleh Sultan Delhi ke Tiongkok pada tahun 1345 M. Ia bertemu dengan Sultan malikuz Zhahir seorang Sultan yang sangat teguh dalam memegang agama Islam yang bermazhab Syafi’i.

3.      Paham Wahdatul Wujud Atau Wujudiyah
Paham ini pada mulanya diajarkan oleh al-hallaj di bagdad yaitu seorang yang Syi’ah yang dihukum mati di Bagdad pada tahun 992 M atau pada abad III H. Di Sumatera, paham ini berkembang sesudah abad XV M. Dalam pengertian yang sederhana ajaran ini mendasarkan pada faham persatuan wujud khalik dengan makhluk. Di Jawa dinamakan paham Manunggaling ing Kawulo Gusti. Ajaran ini membagi wujud zat menjadi dua satu kharijah (kulit luar) dan tsabitah (yang tetap) yaitu al-Haqqu (Tuhan Allah). Jadi, apa yang dikatakan alam dan apa yang dikatakan Allah pada hakekatnya satu. Wujud tuhan adalah wujudnya dan wujudnya adalah wujud Tuhan, Tunhan bersatu dengannya. Ajaran ini dianut di Sumatra oleh Syeik Syamsudin as-Sumatrani dan Hamzah Fansuri sedangkan di Jawa oleh Syeikh Siti Jenar.

4.       Wahdatus Syuhud
Paham ini lebih sebagai kebalikan dari pahah wujudiyah. Paham ini dibawa ke Indonesia berbarengan dengan berkembangnya paham Syafi’i. Ajaran ini menentang paham wahdatul wujud yang telah ada sebelum. Alasannya diantaranya tentang Dimensi Tuhan dan maklhluknya tidak dapat diterima oleh syari’at. Penganut paham ini di Sumatra dipelopori oleh Syeikh Nuruddin ar-Raniri dan Abdurrauf as-Singkel sedangkan di Jawa oleh wali Songo. Syekh Nuruddin menentang paham yang dianut oleh Hamzah Fansuri tentang wujud penciptaan yang digambarkan dengan kun fayakun yang ditafsirkan secara Emanasi oleh Hamzah Fansuri. Sedangkan di Jawa para wali Songo menentang apaham yang dianut oleh Syekh Siti Jenar dengan Manuggaling Ing Kawulo Gusti-Nya. Bahkan Syekh Siti Jenar dihukum mati oleh para wali tersebut begitu juga dengan Hamzah Fansuri.


2.7. PERKEMBANGAN ISLAM DI INDONESIA
1.      Bidang ilmu Pengetahuan
Kedudukan para ulama’ yang diangkat sebagai penasehat kerajaan atau hakim, memberikan kontribusi yang besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan Islam. Disamping mereka memperoleh keleluasaan dalam menyebarkan ajaran Islam dan mencetak kader-kader mubaligh, mereka juga mempunyai kesempatan untuk menulis buku-buku dan kitab-kitab baik dalam ilmu umum maupun ilmu agama. Para ulam’ Indonesia yang karyanya sangat terkenal pada masa itu antara lain ; Hamzah Fansury, dari Boros Aceh, terkenal dengan tokoh sufi, hasil karyanya yang paling terkenal antara lain “ Asrorul Arifin fi Bayan Ila Suluk Wat tauhid” , Nurudin Ar-Raniry (dari aceh Barat ), telah banyak menulis buku-buku umum dan keagamaan.

2.      Bidang Kesenian
Perkembangan bidang seni seperti yang dicontohkan para wali songo, sangat efektif dalam penyampaian da’wah Islam, misalnya pagelaran wayang. Para wali telah mampu mengakomodasi nilai-nilai Islam untuk disampaikan kepada masyarakat. Seni sastra yang bercorak Islami juga berkembang, seperti hikayat, babat suluk dan lain sebagainya. Bidang Arsitektur bangunan dapat dilihat bangunan Masjid Agung Demak, Menara Kudus, Masjid Agung Banten, Kasepuhan Cirebon dan masih banyak lagi.
Perkembangan kesenian sebagaimana yang dicontohkan di atas tentu tidak terlepas dari kepiawaian para ulama’ dahulu dalam menyiarkan agama Islam melalui pendekatan-pendekatan yang mudah diterima oleh masyarakat.

3.      Perkembangan Organisasi-organisasi Islam
a. Serikar Islam ( SI )
Organisasi ini didirikan pada tanggal 10 September 1992. Serikat Islam ( SI ), tumbuh dari organisasi pendahulunya yaitu ; Serikat Dagang Islam ( SDI ) yang didirikan oleh Haji Samanhudi, sebenarnya organisasi ini telah berdiri sejak tahun 1909 di bawah pimpinan R.M. Tirtodisurjo, yang beranggotakan para pedagang muslim.



b. Muhamadiyah
Organisasi ini didirikan oleh K. H. Ahmad Dahlan pada tanggal 8 Zulkijjah 1330 (18 Nopember 1912) di Yogyakarta. Organisasis ini bergerak bergerak bidang kemasyarakatan terupama di bidang pendidikan formal dan da’wah.

c. Jong Islaminten Bond ( JIB )
Salah satu organisasi Islam yang anggotanya kebanyakan dari golongan elite berpendidikan barat yang tetap bepegang teguh pada prinsip-prinsip ajaran Islam. Jong Islaminten Bond ( JIB ) didirikan di Jakarta pada taun 1925 oleh para pemuda pelajar Islam.

d. Nahdatul Ulama’
Organisasi ini didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 M, atas prakarsa K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Abdul Hahab Hasbullah. Tujuan organisasi ini adalah untuk memperjuangkan berlakunya ajaran Islam yang berhaluan ahli sunah wal jama’ah dan menganut madzhab empat yaitu ; Hanafi, Maliki Syafi’i dan Hambali, dalam wadah negara kesatuan.

e. Al-Irsyad.
Organisasi ini didirikan pada tahun 1814 di Jakarta. Para pendirinya sebagian besar pedagang, pengusaha dan ulama’ yang berketurunan suku Arab, diantaranya Ahmad Soorkati, Sholeh bin Ubaid, Syayid bin Salim Mashadi, Salam bin Umar Balfas, Abdullah Harhara. Umar bin Saleh dan Nahdi.

f. Persatuan Islam
Didirikan pada tanggal 17 September 1923 M di Bandung. Pendirinya K. H. Zamzam.
Organisasi ini berusaha keras untuk mengembalikan kaum muslimin kepada pimpinan Al-Qur’an dan Al- Hadits, menghidupkan jihad dan ijtihad, membasmi bit’ah, kurafat, tahayul, taklid dan syiri’, memperluas tabligh serta dakwah kepada masyarakat, mendirikan pesantren dan sekolah untuk memdidik kader Islam.

g. Persatuan tarbiyah Islamiah ( Perti ).
Organisasi ini didirikan pada tanggal 20 Mei 1930 M. Gagasan untuk membentuk wadah ini dilatar belakangi oleh perkembangan paham keagamaan di Sumatra Barat pada awal abad XX. Perkembangan tersebut digerakkan oleh kaum muda untuk mengubah tradisi, terutama gerakan tarikat.

4.      Peranan Umat Muslim dalam Pembangunan
Organisasi Islam yang berperan dalam pembangunan Nasional bukan hanya mereka yang tergabung dalam organisasi. Banyak orang Islam secara pribadi baik sebagai dokter, dosen, pejabat negara, wakil rakyat di DPR, pengusaha, cendikiawan, petani, guru, pengrajin, dan lain-lain. Mereka semuanya melakukan kegiatan dengan sungguh-sungguh sesuai dengan profesi dan keahliannya masing-masing. Tanpa terikat dengan organisasi keagamaan, mereka menyumbangkan dharma baktinya kepada nusa dan bangsa. Memang menjadi umat Islam tidak harus menjadi anggota organisasi atau partai Islam. Menurut Al Qur’an orang Islam yang baik adalah yang paling bertakwa, yang beriman kepada Allah dan beramal shaleh, dimanapun mereka berada.
Lembaga pendidikan Islam dalam kegiatannya lebih menekankan pembinaan, peningkatan ilmu pengetahuan dan kecerdasan masyarakat melalui pendidikan pada jalur sekolah dan luar sekolah. Melalui pendidikan ini secara bertahap ilmu pengetahuan bertambah meningkat dan sumber daya manusia lebih berkualitas. Dengan meningkatnya kualitas masyarakat maka hasil kerja masyarakatpun semakin meningkat. Denigan demikian dapat kdisimpulkan betapa besar peranan kelembagaan pendidikan Islam dalam pembangunan bangsa dan negara.

5.      Peran Tokoh Agama
Proses penyebaran Islam di wilayah Nusantara tidak dapat dilepas dari peran aktif para ulama. Melalui merekalah Islam dapat diterima dengan baik dikalangan masyarakat. Di antara Ulama tersebut adalah sebagai berikut[1]:
a.         Hamzah Fansuri
Ia hidup pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda sekitar tahun 1590. Pengembaraan intelektualnya tidak hanya di Fansur-Aceh, tetapi juga ke India, Persia, Mekkah dan Madinah. Dalam pengembaraan itu ia sempat mempelajari ilmu fiqh, tauhid, tasawuf, dan sastra Arab.

b.        Syaikh Muhammad Yusuf Al-Makasari
Beliau lahir di Moncong Loe, Gowa, Sulawesi Selatan pada tanggal 3 Juli 1626 M/1037 H. Ia memperoleh pengetahuan Islam dari banyak guru, di antaranya yaitu; Sayid Ba Alwi bin Abdullah Al-‘allaham (orang Arab yang menetap di Bontoala), Syaikh Nuruddin Ar-Raniri (Aceh), Muhammad bin Wajih As-Sa’di Al-Yamani (Yaman), Ayub bin Ahmad bin Ayub Ad-Dimisqi Al-Khalwati (Damaskus), dan lain sebagainya.

c.         Syaikh Abdussamad Al-Palimbani
Ia merupakan salah seorang ulama terkenal yang berasal dari Sumatra Selatan. Ayahnya adalah seorang Sayid dari San’a, Yaman. Ia dikirim ayahnya ke Timur Tengah untuk belajar. Di antara ulama sezaman yang sempat bertemu dengan beliau adalah; Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Abdul Wahab Bugis, Abdurrahman Bugis Al-Batawi dan Daud Al-Tatani.

d.        Syaikh Muhammad bin Umar n-Nawawi Al-Bantani
Beliau lahir di Tanar, Serang, Banten. Sejak kecil ia dan kedua saudaranya, Tamim dan Ahmad, di didik oleh ayahnya dalam bidang agama; ilmu nahwu, fiqh dan tafsir. Selain itu ia juga belajar dari Haji Sabal, ulama terkenal saat itu, dan dari Raden Haji Yusuf di Purwakarta Jawa Barat. Kemudian ia pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan menetap disana kurang lebih tiga tahun. Di Mekkah ia belajar Sayid Abmad bi Sayid Abdurrahman An-Nawawi, Sayid Ahmad Dimyati dan Sayid Ahmad Zaini Dahlan. Sedangkan di Madinah ia berguru kepada Syaikh Muhammad Khatib Sambas Al-Hambali. Selain itu ia juga mempunyai guru utama dari Mesir.
Pada tahun 1833 beliau kembali ke Banten. Dengan bekal pengetahuan agamanya ia banyak terlibat proses belajar mengajar dengan para pemuda di wilayahnya yang tertarik denga kepandaiannya.. tetapi ternyata beliau tidak betah tinggal di kampung halamannya. Karena itu pada tahun 1855 ia berangkat ke Haramain dan menetap disana hingga beliau wafat pada tahun 1897 M/1314 H.

e.         Wali Songo
Dalam sejarah penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di pulau Jawa terdapat sembilan orang ulama yang memiliki peran sangat besar. Mereka dikenal dengan sebutan wali songo.
Para wali ini umumnya tinggal di pantai utara Jawa sejak dari abad ke-15 hingga pertengahan abad ke-16. Para wali menyebarkan Islam di Jawa di tiga wilayah penting, yaitu; Surabaya, Gresik dan Lamongan (Jawa Timur), Demak, Kudus dan Muria (Jawa Tengah), serta di Cirebon Jawa Barat. Wali Songo adalah para ulama yang menjadi pembaru masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru seperti, kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan.
Adapun wali-wali tersebut yaitu; Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Gunung Jati, Sunan Drajat, Sunan Kudus dan Sunan Muria.







DAFTAR PUSTAKA
Dhafi. 2013. Makalah Sejarah Perkembangan Islam di Indonesia, (online). (http://ukhuwahislah.blogspot.com/2013/06/makalah-sejarah-perkembangan-islam-di_7436.html, diakses 2 Oktober 2013).




[1] Dhafi. 2013. Makalah Sejarah Perkembangan Islam di Indonesia, (online). (http://ukhuwahislah.blogspot.com/2013/06/makalah-sejarah-perkembangan-islam-di_7436.html, diakses 2 Oktober 2013).



Sumber gambar: chaerolriezal.blogspot.com/
Komentar Facebook
0 Komentar Blogger

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

ads ads ads ads Ads by NasrulL_Pilohn
Belajar Bersama untuk meraih mimpi yang gemilang
Akunasrull.blogspot.com adalah tempat belajar bersama gratis
Akunasrull.blogspot.com

Belajar Bersama Gratis
Akunasrull.blogspot.com adalah tempat belajar bersama gratis
Akunasrull.blogspot.com

Belajar Bersama Gratis
Akunasrull.blogspot.com adalah tempat belajar bersama gratis
Akunasrull.blogspot.com

Belajar Bersama Gratis
Akunasrull.blogspot.com adalah tempat belajar bersama gratis
Akunasrull.blogspot.com

Ads by NasrulL_Pilohn
ads ads ads ads
 
Copyright © 2013. nasrull-samawa || Artikel bisa diperbanyak dan disebarluaskan dengan menyebut sumber "nasrull-samawa"...
Template Creating Website || Diberdayakan Oleh Blogger