BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
LATAR
BELAKANG
Sejarah Islam di Asia Tenggara,
khususnya pada masa awal, luar biasa “rumit”. dan kerumitan itu bukan hanya
disebabkan oleh kompleksitas di sekitar slam itu sendiri sebagaimana
direfleksikan oleh kaum muslimin di kawasan ini, baik melalui historiografi
maupun dalam praktek kehidupan sehari-hari, melainkan juga karena
pengkajian-pengkajian sejarah Islam dengan berbagai aspeknya di Asia Tenggara
─baik yang dilakukan kalangan sejarawan asing maupun pribumi─ hingga kini belum
mampu merumuskan suatu paradigma historis yang dapat dijadikan pegangan
bersama. Terdapat perbedaan-perbedaan dasar di kalangan para ahli dalam
mengkaji Islam di Asia Tenggara, yang kadang-kadang sulit dipertemukan satu
sama lain (Azyumardi Azra, 1999: 27).
Perbedaan-perbedaan yang ada
mengenai sejarah Islamisasi di nusantara ini memiliki banyak permasalahan yang
rumit di antaranya adalah ketersediaan
data yang sangat terbatas tentang kedatangan Islam, sebagaimana yang disampaikan
Snouck Hurgronje dalam orasi ilmiahnya di Leiden dalam tahun 1907 M (Drewes,
1968: 434; Berg, 1955: 112; Munandar dkk: 65). Selain itu perbedaan-perbedaan
mengenai awal sejarah Islam itu sendiri karena banyak ketidaksepakatan di
antara para sarjana dan peneliti mengenai makna “Islam” yang sesungguhnya, maka
sebagai konsekuensinya juga tidak ada kesepakatan tentang penetrasinya ke
Nusantara (Azra: 17)
Islamisasi merupakan suatu proses
yang sangat penting dalam sejarah Islam di Indonesia yaitu sejarah tentang
berdirinya kekuasaan sosio politik Islam di bumi Nusantara.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1. PROSES MASUKNYA ISLAM DI INDONESIA
Masuknya
agama dan budaya Islam ke Indonesia dipengaruhi oleh adanya hubungan
perdagangan Asia kuno, yang dilakukan oleh bangsa Cina dan India, yang
mendorong pedagang lainnya seperti pedagang dari Arab, Persia, Gujarat untuk
ikut serta dalam hubungan perdagangan tersebut. Hal itu menyebabkan kota-kota
pelabuhan yang berfungsi sebagai tempat transit ramai dikunjungi orang, sehingga
dapat berkembang menjadi pusat-pusat perdagangan dunia. Dari hubungan
perdagangan tersebut, mereka dapat saling mengenal budaya yang dibawa oleh
masing-masing pedagang yang dapat dilihat dari bahasa, barang dagangan yang
dibawa maupun dari corak hidup. Untuk itu banyak pedagang Arab, Persia, dan
Gujarat yang menetap dan menikah dengan penduduk setempat, sehingga budaya
Islam dan agama Islam dapat dengan mudah disebarkan di berbagai wilayah
Indonesia melalui pendekatan budaya.
Dalam masa kedatangan dan penyebaran Islam
di Indonesia, terdapat kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu. Di Sumatra
terdapat kerajaan Sriwijaya dan Melayu; di Jawa, Majapahit; di Sunda,
Pajajaran; dan di Kalimantan, Daha dan Kutai.
Agama Islam
yang datang ke Indonesia mendapat perhatian khusus dari kebanyakan rakyat yang
telah memeluk agama Hindu. Agama Islam dipandang lebih baik oleh rakyat yang
semula menganut agama Hindu, karena Islam tidak mengenal kasta, dan Islam tidak
mengenal perbedaan golongan dalam masyarakat. Daya penarik Islam bagi
pedagang-pedagang yang hidup di bawah kekuasaan raja-raja Hindu agaknya
ditemukan pada pemikiran orang kecil. Islam memberikan sesuatu persamaan bagi
pribadinya sebagai anggota masyarakat muslim. Sedangkan menurut alam pikiran
agama Hindu, ia hanyalah makhluk yang lebih rendah derajatnya daripada
kasta-kasta lain. Di dalam Islam, ia merasa dirinya sama atau bahkan lebih
tinggi dari pada orang-orang yang bukan muslim, meskipun dalam struktur
masyarakat menempati kedudukan bawahan.
Proses islamisasi di Indonesia terjadi dan
dipermudah karena adanya dukungan dua pihak: orang-orang muslim pendatang yang
mengajarkan agama Islam dan golongan masyarakat Indonesia sendiri yang
menerimanya. Dalam masa-masa kegoncangan politik, ekonomi, dan sosial budaya,
Islam sebagai agama dengan mudah dapat memasuki dan mengisi masyarakat yang
sedang mencari pegangan hidup, terlebih lagi cara yangg ditempuh oleh
orang-orang muslim dalam menyebarkan agama Islam adalah menyesuaikan dengan kondisi sosial budaya yang
telah ada. Dengan demikian, pada tahap permulaan islamisasi dilakukan dengan
saling pengertian akan kebutuhan dan disesuaikan dengan kondisi masyarakatnya.
Pembawa dan penyebar agama Islam pada masa-masa permulaan adalah golongan pedagang,
yang sebenarnya menjadikan faktor ekonomi perdagangan sebagai pendorong utama
untuk berkunjung ke Indonesia. Hal itu bersamaan waktunya dengan masa
perkembangan pelayaran dan perdagangan internasional antara negeri-negeri di
bagian barat, tenggara, dan timur Asia. Kedatangan pedagang-pedagang muslim
seperti halnya yang terjadi dengan perdagangan sejak zaman Samudra Pasai dan
Malaka yang merupakan pusat kerajaan Islam yang berhubungan erat dengan
daerah-daerah lain di Indonesia, maka orang-orang Indonesia dari pusat-pusat
Islam itu sendiri yang menjadi pembawa dan penyebar agama Islam ke seluruh
wilayah kepulauan Indonesia.
2.2. FAKTOR PENYEBAB ISLAM CEPAT
BERKEMBANG DI INDONESIA
Faktor internal yang menyebabkan perkembangan islam
cepat di Indonesia:
a)
Ajarannya sederhana, mudah dimengerti
dan diterima
b)
syarat untuk masuk islam sangat mudah,
yaitu hanya dengan mengucapkan kalimat syahadat
c)
agama islam tidak mengenal kasta,
sehingga semua orang boleh untuk memeluk agama
d)
upacara-upacara keagamaan besifat sederhana
e)
islam disebarkan secara damai lewat
pendekatan budaya
f)
jatuhnya Kerajaan Majapahit dan
Sriwijaya menyebabkan kerajaan islam berkembang pesat.
Sedangkan faktor
eksternal yang mendorong perkembangan islam di Indonesia adalah sebagai berikut:
a) Jatuhnya
kota Bagdad kepada bangsa Mongolia pada tahun 1258 M, menyebabkan gelombang urbanisasi
ke India dan asia Tengah secara besar-besaran
b) Banyaknya
para sufi, penganut tarikat, mengembara bersedia mendakwahkan Islam dengan suka
rela ke seluruh dunia
c) Jaringan
perdagangan internasional, dijadikan sebagai sarana penyebaran ajaran Islam.
2.3. SALURAN – SALURAN MASUKNYA ISLAM
DI INDONESIA
Menurut Uka Tjandrasasmita, saluran-saluran islamisasi yang berkembang ada
enam, yaitu:
1.
Saluran Perdagangan
Pada taraf permulaan, saluran islamisasi adalah perdagangan. Kesibukan lalu
lintas perdagangan pada abad ke-7 hingga ke-16 M. membuat pedagang-pedagang
Muslim (Arab, Persia dan India) turut ambil bagian dalam perdagangan dari
negeri-negeri bagian barat, tenggara dan Timur Benua Asia. Saluran Islamisasi
melalui perdagangan ini sangat menguntungkan karena para raja dan bangsawan
turut serta dalam kegiatan perdagangan, bahkan mereka menjadi pemilik kapal dan
saham. Mengutip pendapat Tome Pires berkenaan dengan saluran Islamisasi melalui
perdagangan ini di pesisir Pulau Jawa, Uka Tjandrasasmita menyebutkan
bahwa para pedagang Muslim banyak yang bermukim di pesisir pulau Jawa yang
penduduknya ketika itu masih kafir. Mereka berhasil mendirikan masjid-masjid
dan mendatangkan mullah-mullah dari luar sehingga jumlah mereka menjadi banyak,
dan karenanya anak-anak Muslim itu menjadi orang Jawa dan kaya-kaya. Di
beberapa tempat, penguasa-penguasa Jawa, yang menjabat sebagai bupati-bupati
Majapahit yang ditempatkan di pesisir utara Jawa banyak yang masuk Islam, bukan
hanya karena factor politik dalam negeri yang sedang goyah, tetapi terutama
karena faktor hubungan ekonomi dengan pedagang-pedagang Muslim.
2. Saluran
Perkawinan
Dari sudut ekonomi, para pedagnang Muslim memiliki status sosial yang lebih
baik dari pada kebanyakan pribumi, sehingga penduduk pribumi, terutama
putri-putri bangsawan, tertarik untuk menjadi istri para saudagar itu. Sebelum melaksanakan
perkawinan, mereka diislamkan terlebih dahulu. Setelah mereka mempunyai
keturunan, lingkungan mereka makin luas. Akhirnya, timbul kampung-kampung,
daerah-daerah dan kerajaan-kerajaan Muslim. Dalam perkembangan berikutnya, ada
pula wanita Muslim yang dikawani oleh keturunan bangsawan. Jalur perkawinan ini
lebih menguntungkan apabila terjadi antara saudagar Muslim dengan anak
bangsawan atau anak raja dan anak adipati, karena hal tersebut turut
mempercepat proses Islamisasi. Demikianlah yang terjadi antara Raden Rahmat
atau Sunan Ampel dengan Nyai Manila, Sunan Gunung Jati dengan Nyai Kawunganten,
Brawijaya dengan putri Campa yang menurunkan Raden Patah (raja pertama Demak)
dan lain-lain.
3. Saluran
Tasawuf
Pengajar-pengajar tasawuf atau para sufi, mengajarkan teosofi yang
bercampur dengan ajaran yang sudah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Mereka
mahir dalam soal-soal magis dan mempunyai kekuatan-kekuatan menyembuhkan. Di
antara mereka ada juga yang mengawini putri-putri bangsawan setempat. Dengan
tasawuf, “bentuk” Islam yang diajarkan kepada penduduk pribumi mempunyai
persamaan dengan alam pikiran mereka yang sebelumnya menganut agama Hindu,
sehingga agama baru itu mudah dimengerti dan diterima. Diantara ahli-ahli
tasawuf yang memberikan ajaran yang mengandung persaman dengan alam pikiran
Indonesia pra-Islam itu adalah Hamzah Fansuri di Aceh, Syeikh Lemah Abang, dan
Sunan Panggung di Jawa. Ajaran mistik seperti ini masih berkembang di abad
ke-19 bahkan di abad ke-20 M ini.
4.
Saluran Pendidikan
Islamisasi juga dilakukan melalui pendidikan, baik pesantren maupun pondok
yang diselenggarakan oleh guru-guru agama, kiai-kiai, dan ulama-ulama. Di
pesantren atau pondok itu, calon ulama, guru agama, dan kiai mendapat
pendidikan agama. Setelah keluar dari pesantren, mereka pulang ke kampong
masing-masing kemudian berdakwah ke tempat tertentu mengajarkan Islam.
Misalnya, pesantren yang didirikan oleh Raden Rahmat di Ampel Denta Surabaya
dan Sunan Giri di Giri. Keluaran pesantren Giri ini banyak yang diundang ke
Maluku untuk mengajarkan agama Islam.
5. Saluran
Kesenian
Saluran Islamisasi melaui kesenian yang paling terkenal adalah pertunjukan
wayang. Dikatakan, Sunan Kalijaga adalah tokoh yang paling mahir dalam
mementaskan wayang. Dia tidak pernah meminta upah pertunjukan, tetapi ia
meminta para penonton untuk mengikutinya mengucapkan kalimat syahadat. Sebagian
besar cerita wayang masih dipetik dari cerita Mahabharata dan Ramayana, tetapi
di dalam cerita itu disisipkan ajaran dan nama-nama pahlawan Islam. Kesenian-kesenian
lain juga dijadikan alat Islamisasi, seperti sastra (hikayat, babad dan
sebagainya), seni bangunan dan seni ukir.
6. Saluran
Politik
Di Maluku dan Sulawesi Selatan, kebanyakan rakyat masuk Islam setelah
rajanya masuk Islam terlebih dahulu. Pengaruh politik raja sangat berpengaruh
tersebarnya Islam di daerah ini. Di samping itu, baik di Sumatera dan Jawa
maupun di Indonesia bagian Timur, demi kempentingan politik, kerajaan-kerajaan
Islam memerangi kerajaan-kerajaan non-Islam. Kemenangan kerajaan Islam secara
poltik banyak menarik penduduk kerajaan bukan Islam itu masuk Islam.
2.4. TAHAP – TAHAP PERKEMBANGAN ISLAM
DI INDONESIA
1. Kehadiran
para pedagang Muslim (7 - 12 M)
Fase ini
diyakini sebagai fase permulaan dari proses sosialisasi Islam di kawasan Asia
Tenggara, yang dimulai dengan kontak sosial budaya antara pendatang Muslim
dengan penduduk setempat.
Pada fase
pertama ini, tidak ditemukan data mengenai masuknya penduduk asli ke dalam
Islam. Bukti yang cukup jelas mengenai hal ini baru diperoleh jauh kemudian,
yakni pada permulaan abad ke-13 M / 7 H. Sangat mungkin dalam kurun abad ke 1
sampai 4 H terdapat hubungan perkawinan antara pedagang Muslim dengan penduduk
setempat, hingga menjadikan mereka beralih menjadi Muslim. Tetapi ini
baru pada tahap dugaan.
Walaupun di
Leran - Gresik, terdapat sebuah batu nisan bertuliskan Fatimah binti
Maimun yang wafat pada tahun 475 H / 1082 M. Namun dari bentuknya, nisan
itu menunjukkan pola gaya hias makam dari abad ke-16 M seperti yang ditemukan
di Campa, yakni berisi tulisan yang berupa do'a-do'a kepada Allah. Sehingga ada
yang berpendapat bahwa penulis nisan itu adalah seorang Syi'ah. Ini diketahui
karena mereka adalah Muslim pendatang yang sebelumnya bermukim di Timur Jauh.
2. Terbentuknya
kerajaan Islam (13-16M)
Pada fase
kedua ini, Islam semakin tersosialisasi dalam masyarakat Nusantara dengan mulai
terbentuknya pusat kekuasaan Islam. Kerajaan Samudera Pasai diyakini sebagai
kerajaan Islam pertama di Indonesia. Bukti paling kuat yang menjelaskan tentang
itu adalah ditemukannya makam Malik al-Shaleh yang terletak di kecamatan
Samudera di Aceh Utara. Makam tersebut menyebutkan bahwa, Malik al-Shaleh wafat
pada bulan Ramadhan 696 H/ 1297 M. Dalam Hikayat Raja-Raja Pasai dan Sejarah
Melayu Malik, dua teks Melayu tertua, Malik al-Shaleh digambarkan sebagai
penguasa pertama kerajaan Samudera Pasai.
Pada akhir
abad ke-13 kerajaan Samudera Pasai merebut jalur perdagangan di Selat Malaka
yang sebelumnya dikuasai oleh kerajaan Sriwijaya. Hal ini terus berlanjut
hingga pada permulaan abad ke-14 berdiri kerajaan Malaka di Semenanjung
Malaysia
Sultan
Mansyur Syah (w. 1477 M) adalah sultan keenam Kerajaan Malaka yang membuat
Islam sangat berkembang di Pesisir timur Sumatera dan Semenanjung Malaka. Di
bagian lain, di Jawa saat itu sudah memperlihatkan bukti kuatnya peranan
kelompok Masyarakat Muslim, terutama di pesisir utara. Kehadiran makam-makam
kuno di Troloyo dekat Trowulan, dengan angka tahun tertua yang tertulis adalah
1290 caka 1368-1369M telah menarik perhatian tentang kemungkinan adanya
masyarakat Muslim di dekat pusat kerajaan Majapahit. Dan sejak akhir abad
ke-15 pusat-pusat perdagangan di pesisir utara, yakni Gresik, Demak,
Cirebon dan Banten telah menunjukkan kegiatan keagamaan oleh para wali di Jawa.
Kegiatan itu mulai tampak sebagai kekuatan politik di pertengahan abad ke-16
ketika kerajaan Demak sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa berhasil
merebut ibukota Majapahit. Sejak itu perkembangan Islam di Jawa telah dapat
berperan secara politik, di mana para wali dengan bantuan kerajaan Demak,
kemudian Pajang dan Mataram dapat meluaskan perkembangan Islam tidak saja ke
seluruh daerah-daerah penting di Jawa, tetapi juga di luar Jawa, khususnya oleh
para mubaligh (da'i) di Gresik dan Demak. Mereka bahkan berhasil meluaskan
pengaruh Islam ke Banjarmasin, Hitu, Ternate dan Tidore serta Lombok.
3. Pelembagaan
Islam
Pada fase ini
sosialisasi Islam semakin tak terbendung lagi masuk ke pusat-pusat kekuasaan,
merembes terus sampai hampir ke seluruh wilayah Nusantara. Hal ini tidak bisa
dilepaskan dari peranan para penyebar dan pengajar Islam. Mereka menduduki
berbagai jabatan dalam struktur birokrasi kerajaan, dan banyak diantara mereka
melakukan perkawinan dengan penduduk pribumi. Dengan kata lain, Islam
dikukuhkan di pusat-pusat kekuasaan di Nusantara melalui jalur perdagangan,
perkawinan dengan elit birokrasi dan ekonomi, di samping dengan sosialisasi
langsung pada masyarakat bawah.
Pengaruh
islamisasi yang pada awalnya hanya berpusat di Pasai telah jauh meluas ke Aceh
di Pesisir Sumatera, semenanjung Malaka, Demak, Gresik, Banjarmasin, lombok,
dsb. Ini terbukti dengan ditemukannya bentuk-bentuk makam di semenanjung
Malaka, terutama batu nisannya, yang menyerupai bentuk-bentuk batu nisan di
Aceh. Di komplek pemakaman Sultan Suriansyah (Raden Samudra) yang terletak di
Kuwin, Banjarmasin, terdapat batu nisan yang mempunyai tipologi sama dengan
bentuk nisan Demak dan Gresik. Begitu pula di komplek pemakaman kuno Seloparang
-menurut tradisi setempat diislamkan Sunan Prapen dari Giri- ditemukan sebuah
batu nisan yang memiliki gaya Jawa Timur.
Untuk daerah
Sulawesi, walaupun beberapa tempat seperti Buton dan Selayar berdasarkan
tradisi setempat telah menerima pengaruh Islam dari Ternate pada pertengahan
abad ke-16, namun bukti yang lebih nyata menunjukkan bahwa hal itu terjadi
ketika Raja Gowa pertama yang bernama I Mallingkaeng Daeng Njonri Karaeng
Katangka masuk Islam pada hari Jum'at Jumadil Awal 1014 H/ 22 September 1605 M,
yang disusul dua tahun kemudian rakyat Gowa dan Tallo diislamkan, seperti
terbukti dengan dilakukannya shalat Jum'at bersama di Tallo pada 19 Rajab 1068
H/ Nopember 1607 M. Kejadian ini dapat dianggap sebagai titik penting
dalam perkembangan Islam di Sulawesi. Penyebar agama Islam di daerah ini ialah
seorang ulama asal Minangkabau, bernama Abdul Ma'mur Chatib Tunggal (lebih
terkenal dengan Dato ri Bandang) dan dua temannya Chatib Sulaiman (bergelar
Dato ri Pattimang) untuk daerah Luwu, dan Chatib Bungsu untuk daerah Tiro.
Daerah Lombok
dan Sumbawa mendapat pengaruh islamisasi dari dua arah. Pada tahap awal,
sekitar abad ke-16 M, pengaruh itu berasal dari Jawa dengan tokoh penyebarnya
Sunan Prapen, dan selanjutnya pada abad ke-17 dari daerah Gowa. Ini terbukti
pada makam kuno di Bima terlihat adanya pengaruh bentuk nisan dan jirat seperti
makam-makam kuno di Tallo atau di Tamalatte (Gowa), dan di Seloparang terlihat
adanya bentuk Jawa Timur dan Bugis-Makasar.
Di
Kalimantan, daerah yang nampaknya pertama kali menyambut kehadiran Islam adalah
Banjarmasin (sekitar 1550 M). Hal ini tidak bisa dilepaskan dari hubungan
ekonomi yang sejak pra-Islam telah terjalin antara daerah ini dengan daerah
utara Jawa, terutama dengan kerajaan Demak. Di Kalimantan Timur, daerah yang
pertama mendapat pengaruh Islam adalah Kutai, dengan tokoh penyebarnya
Dato ri Bandang dan temannya Tuan Tunggang Parangan setelah keduanya berhasil
mengislamkan Raja Mahkota dari kerajaan Kutai sekitar tahun 1575 M. Di
Kalimantan Barat Islam tampaknya menyebar kemudian. Kota Waringin misalnya,
menerima Islam setelah Banjarmasin, sedangkan daerah lebih ke barat seperti
Sambas, Pontianak dan sebagainya tidak ada keterangan yang jelas kapan Islam
masuk daerah ini. Proses islamisasi di Nusantara, terutama pada fase ketiga
ini, diwarnai oleh pergulatan antar imperium di satu sisi -di mana Raja yang
telah terislamkan mempunyai peran yang signifikan dalam mengislamkan rakyatnya-
dengan aktivitas komunikasi yang dibangun oleh para penyebar Islam -pedagang,
musafir, ulama, dan kaum sufi- di sisi yang lain, yang berdampak semakin
diakuinya peranan mereka dalam struktur komunitas pribumi. Bahkan dari
naskah-naskah kuno abad 17-19 disebutkan bahwa ulama, wali dan penyebar Islam
berfungsi sebagai pendukung legitimasi kekuasaan Raja. Legitimasi tersebut
antara lain dilakukan melalui isyarat-isyarat geneologis maupun kesinambungan
keturunan. Ini diperlukan agar transformasi Islam tidak menimbulkan chaos
dan disharmoni. Contoh legitimasi itu seperti yang dituturkan dalam Babad
Tanah Jawi, yakni peristiwa ketika Sunan Giri memerintahkan Sunan Prapen
untuk hadir dalam pentasbihan Sultan Pajang yang kemudian bergelar Sultan Prabu
Adiwijaya. Hal yang sama juga terefleksikan dalam kehadiran Wijil Adilangu
(Demak) pada pelantikan Pangeran Puger sebagai Paku Buwana I di Semarang
(1970). Dari penjelasan di atas, bisa dikatakan bahwa sampai permulaan abad
ke-17 Islam sudah merata diterima hampir di seluruh wilayah Nusantara. Fenomena
lain yang cukup menarik adalah, pada fase awal yakni abad ke-1-5 H, Islam
berkembang dengan kekuatan para musafir dari Arab, Persia, Gujarat dan lainnya.
Pada sekitar abad ke-5 diantara penyebar Islam itu terdapat para ulama dan
sufi. Pada abad ke 14 dan sesudahnya Islam disebarkan oleh para mubaligh atau
ulama pribumi seperti Sunan Prapen, Chatib Dayan, Dato ri Bandang dan
Dato Sulaiman. Juga dalam perkembangannya di Nusantara, Islam telah diterima
dengan jalan damai. Hampir tidak pernah ada ekspedisi militer untuk islamisasi
ini.
2.5. TEORI – TEORI PERKEMBANGAN ISLAM
DI INDONESIA
Kepastian
kapan dan dari mana Islam masuk di Nusantara memang tidak ada kejelasan.
Setidaknya ada tiga teori yang mencoba menjelaskan tentang itu. Yaitu: Teori
Gujarat, Teori Makkah, dan Teori Persia. Munculnya tiga teori yang berbeda ini,disinyalir
oleh Ahmad Mansur Suryanegara, akibat dari kurangnya informasi yang bersumber
dari fakta peninggalan agama Islam di Nusantara. Inskripsi tertua tentang Islam
tidak menjelaskan tentang kapan masuknya Islam di Nusantara. Pada inskripsi
tertua itu hanya membicarakan tentang adanya kekuasaan politik Islam, Samudera
Pasai pada abad ke-13 Masehi. Selain itu karena sulitnya memastikan kapan
masuknya Islam di Nusantara dihadapkan pada luasnya wilayah kepulauan Nusantara
(Suryanegara, 1995:73). Ketiga teori tersebut berbeda pendapat mengenai: waktu
masuknya Islam, asal negara yang menjadi perantara atau sumber tempat
pengambilan ajaran agama Islam, dan pelaku penyebar atau pembawa Islam ke Nusantara.
1. Teori Gujarat
Teori ini merupakan
teori tertua yang menjelaskan tentang masuknya Islam di Nusantara. Dinamakan
Teori Gujarat, karena bertolak dari pandangannya yang mengatakan bahwa Islam
masuk ke Nusantara berasal dari Gujarat, pada abad ke-13 M, dan pelakunya
adalah pedagang India Muslim.
Snouck Hurgronje lebih
menitikberatkan pandangannya ke Gujarat berdasarkan pada: Pertama,
kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran Islam di
Nusantara. Kedua, adanya kenyataan hubungan dagang India-Indonesia
yang telah lama terjalin. Ketiga, inskripsi tertua tentang Islam yang
terdapat di Sumatera memberikan gambaran hubungan antara Sumatera dan Gujarat.
Dalam bukunya De
Islam en Zijn Komst In de Archipel, ia menyakini bahwa Islam masuk
ke Nusantara pada abad ke-13 dengan daerah asal Gujarat di dasarkan pada: pertama,
bukti batu nisan. Sutterheim menjelaskan bahwa relif nisan tersebut bersifat
Hinduistis yang mempunyai kesamaan dengan nisan yang terdapat di Gujarat.
Kedua, adanya kenyataan bahwa agama Islam disebarkan melalui jalan dagang
antara Indonesia-Cambai (Gujarat)-Timur Tengah-Eropa. Sultan pertama Kerajaan
Samudera Pasai, yakni Malik al-Shaleh yang wafat pada 1297 Bernard H.M. Vlekke
dalam bukunya Nusantara: a History of Indonesia, mendasarkan
argumennya pada keterangan Marco Polo yang pernah singgah di Sumatera untuk
menunggu angin pada tahun 1292. Di sana disebutkan tentang situasi ujung utara
Sumatera bahwa, di Perlak penduduknya telah memeluk Islam. Selanjutnya Bernard
H.M. Vlekke menandaskan bahwa Perlak merupakan satu-satunya daerah Islam di
Nusantara saat itu. Dengan demikian sarjana Barat ini merasa mengetahui dengan
pasti kapan dan di mana Islam masuk ke Nusantara. Apalagi kemudian menurutnya,
keterangan ini diperkuat dengan inskripsi tertua di Sumatera yang berupa nisan
(Sultan Malik al-Shaleh) berangka tahun 1297, di mana lokasinya terletak di
desa Samudera, 100 mil dari Perlak.
Dari berbagai argumen
yang dikemukakan oleh para pendukung teori Gujarat di atas, nampak sekali
mereka sangat Hindu Sentris, seakan-akan segala perubahan sosial, politik,
ekonomi, budaya dan agama di Nusantara tidak bisa dilepaskan dari pengaruh
India. Di samping itu juga kebanyakan mereka lebih memusatkan
perhatiannya pada saat
timbulnya kekuasaan politik Islam di Nusantara. Seakan-akan Islam masuk di
Nusantara dan langsung menguasai struktur politik di sana. Padahal tidak dapat
dipungkiri bahwa Islam masuk di Indonesia melalui infiltrasi kultural oleh para
pedagang Muslim dan para Sufi.
2. Teori
Arab
Menurut teori
Arab, islam baru masuk pada abad 13 karena kenyataanya di Nusantara pada abad
itu telah berdiri suatu kekuatan politik Islam, maka sudah tentu Islam masuk
jauh sebelumnya yakni abad ke-7 Masehi atau pada abad pertama Hijriyah. Bila
dihubungkan dengan penjelasan kepustakaan Arab kuno di dalamnya disebutkan
al-Hind sebagai India atau pulau-pulau sebelah timurnya sampai ke Cina, dan
Indonesia pun disebut sebagai pulau-pulau Cina, maka besar kemungkinan pada
abad ke-2 SM bangsa Arab telah sampai ke Indonesia. Bahkan sebagai bangsa asing
yang pertama datang ke Nusantara. Karena bangsa India dan Cina baru mengadakan
hubungan dengan Indonesia pada abad 1 M. Sedangkan hubungan Arab dengan
Cina terjadi jauh lebih lama, melalui jalan darat menggunakan "kapal
sahara", jalan darat ini sering disebut sebagai "jalur sutra",
berlangsung sejak 500 SM.
Kalau
demikian halnya hubungan antara Arab dengan negara-negara Asia lainnya, maka
tidaklah mengherankan bila pada 674 M telah terdapat perkampungan perdagangan
Arab Islam di Pantai Barat Sumatera, bersumber dari berita Cina.
Dari
keterangan tentang peranan bangsa Arab dalam dunia perniagaan seperti di atas,
kemudian dikuatkan dengan kenyataan sejarah adanya perkampungan Arab Islam di
pantai barat Sumatera di abad ke-7, maka terbukalah kemungkinan peranan bangsa
Arab dalam memasukkan Islam ke Nusantara.
3.
Teori Persia
Pencetus
teori ini adalah P.A. Hoesein Djajadiningrat. Teori ini berpendapat bahwa agama
Islam yang masuk ke Nusantara berasal dari Persia, singgah ke Gujarat,
sedangkan waktunya sekitar abad ke-13. Nampaknya fokus Pandangan teori
ini berbeda dengan teori Gujarat dan Makkah, sekalipun mempunyai kesamaan
masalah Gujaratnya, serta Madzhab Syafi'i-nya. Teori yang terakhir ini lebih
menitikberatkan tinjauannya kepada kebudayaan yang hidup di kalangan masyarakat
Islam Indonesia yang dirasakan memiliki persamaan dengan Persia (Morgan,
1963:139-140). Di antaranya adalah:
Pertama,
Peringatan 10 Muharram atau Asyura sebagai hari peringayan Syi'ah atas
syahidnya Husein. Peringatan ini berbentuk pembuatan bubur Syura. Di
Minangkabau bulan Muharram disebut bulan Hasan-Husein. Di Sumatera Tengah
sebelah barat disebut bulan Tabut, dan diperingati dengan mengarak keranda
Husein untuk dilemparkan ke sungai. Keranda tersebut disebut tabut
diambil dari bahasa arab.
Kedua,
adanya kesamaan ajaran antara Syaikh Siti Jenar dengan ajaran Sufi Iran
al-Hallaj, sekalipun al-Hallaj telah meninggal pada 310H / 922M, tetapi
ajarannya berkembang terus dalam bentuk puisi, sehingga memungkinkan Syeikh
Siti Jenar yang hidup pada abad ke-16 dapat mempelajarinya.
Ketiga,
penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab, untuk
tanda-tanda bunyi harakat dalam pengajian al-Qur`an tingkat awal:
Bahasa
Iran Bahasa Arab
jabar -
zabar
fathah
jer -
ze-er
kasrah
p'es -
py'es
dhammah
Huruf Sin
yang tidak bergigi berasal dari Persia, sedangkan Sin bergigi berasal
dari Arab.
Keempat,
nisan pada makam Malik Saleh (1297) dan makam Malik Ibrahim (1419) di Gresik
dipesan dari Gujarat. Dalam hal ini teori Persia mempunyai kesamaan muthlak
dengan teori Gujarat.
Kelima,
pengakuan umat Islam Indonesia terhadap madzhab Syafi'i sebagai madzhab utama
di daerah Malabar. Di sini ada sedikit kesamaan dengan teori Makkah, cuman yang
membedakannya adalah P.A. Hoesein Djajadiningrat di satu pihak melihat salah
satu budaya Islam Indonesia kemudian dikaitkan dengan kebudayaan Persia, tetapi
dalam memandang madzhab Syafi'i terhenti ke Malabar, tidak berlanjut sampai ke
pusat madzhab itu, yakni di Makkah.
Kritikan
untuk teori Persia ini dilontarkan oleh K.H. Saifuddin Zuhri. Ia menyatakan
sukar untuk menerima pendapat tentang kedatangan Islam ke Nusantara berasal
dari Persia. Alasannya bila kita berpedoman pada masuknya Islam ke Nusantara
pada abad ke-7, hal ini berarti terjadi pada masa kekuasaan Khalifah Umayyah.
Saat itu kepemimpinan Islam di bidang politik, ekonomi dan kebudayaan berada di
tangan bangsa Arab, sedangkan pusat pergerakan Islam berkisar di Makkah,
Madinah, Damaskus dan Bagdad, jadi belum mungkin Persia menduduki kepemimpinan
dunia Islam (Zuhri, 1979:188).
Dari uraian
tentang tiga teori masuknya Islam ke Nusantara di atas, dapat dilihat beberapa
perbedaan dan kesamaannya:
Pertama,
teori Gujarat dan Persia mempunyai persamaan pandangan mengenai masuknya agama
Islam ke Nusantara berasal dari Gujarat. Perbedaannya terletak pada teori
Gujarat yang melihat ajaran Islam di Indonesia mempunyai kesamaan ajaran dengan
mistik di India. Sedangkan teori Persia memandang adanya kesamaan dengan ajaran
Sufi di Persia. Gujarat dipandangnya sebagai daerah yang dipengaruhi oleh
Persia, dan menjadi tempat singgah ajaran Syi'ah ke Indonesia.
Kedua,
dalam hal Gujarat sebagai tempat singgah, teori Persia mempunyai persamaan
dengan teori Makkah, tetapi yang membedakannya adalah teori Makkah memandang
Gujarat sebagai tempat singgah perjalanan perjalanan laut antara Indonesia
dengan Timur Tengah, sedangkan ajaran Islam diambilnya dari Makkah atau dari
Mesir.
Ketiga,
teori Gujarat dan Persia keduanya tidak memandang peranan bangsa Arab dalam
perdagangan, juga tidak dalam islamisasi di Nusantara. Dalam hal ini keduanya
lebih memandang pada peranan orang India Muslim. Oleh karena itu bertolak
dari laporan Marco Polo keduanya meyakini Islam masuk di Nusantara pada abad
ke-13. Sebaliknya teori Makkah lebih meyakini Islam masuk di Nusantara pada
abad ke-7, karena abad ke-13 dianggap sebagai saat-saat perkembangan Islam di
Nusantara.
Keempat,
dalam melihat sumber negara yang mempengaruhi Islam di Nusantara, teori Makkah
lebih berpendirian pada Makkah dan Mesir dengan mendasarkan tinjauannya pada
besarnya pengaruh madzhab Syafi'i di Indonesia. Sedangkan teori Persia,
meskipun mengakui pengaruh madzhab Syafi'i di Indonesia tetapi, bagi teori ini,
hal itu merupakan pengaruh madzhab Syafi'i yang berkembang di Malabar, oleh
karena itu teori ini lebih menunjuk India sebagai negara asal Islam Indonesia.
Walaupun
dari analisa perbandingan di atas ketiga teori tersebut lebih menampakkan
tajamnya perbedaan dari pada persamaan, namun ada titik temu yang bisa
disimpulkan yakni, bahwa pertama, Islam masuk dan berkembang di
Nusantara melalui jalan damai (infiltrasi kultural), dan kedua, Islam
tidak mengenal adanya missi sebagaimana yang dijalankan oleh kalangan Kristen
dan Katolik.
2.6.
CORAK ISLAM DI INDONESIA
1. Paham Syi’ah
Paham syi’ah masuk ke Indonesia ketika pertengahan abad IV H terjadi
perebutan kekuasaan di Tunis (Afrika Utara) yang dilakukan oleh kaum Fathimah
melawan raja-raja Abbasiyah. Rajanya yang pertama bernama al-Qayyim bin
Ubaidillah yang memwerintah Tunisia dan sekitarnya pada tahun 313 H. Kerajaan
Fatimiyah meluaskan wilayahnya dan menguasai Mesir pada tahun 341 H, dengan
sultannya yang bernama al-Muiz Li Dinillah (341 H). Kekuasaan Bani Fatimiyah
berajalan lama sampai 250 tahun, yaitu sampai tahun 564 H, ketika diambil alih
oleh Salahudin al-Ayyubi pembebas Palestina yang terkenal. Bani Fatimiyah ini
menganut faham syi’ah. Raja-raja Islam Bani Fatimiyah ini mengirim
mubaligh-mubaligh ke Indonesia pada abad IV samapai VI H. bahkan mengirim juga
angkatan lautnya untuk membantu fatwa-fatwa Syi’ah, untuk mendirikan
kerajaan-kerajaan bermazhab Syi’ah. Sultan-sultan yang ada di kerajaan pada
masa awal itu hampir semuanya adalah para mubalig yang dikirim Bani Fatimiyah.
Kesimpulannya umat Islam Indonesia pada abad IV-VI H atau abad XI-XII M,
diliputi oleh pelajaran-pelajaran Syi’ah yang samapai sekarang masih tinggal
bekas-bekasnya. Kita bisa melihat di jawa gelar-gelar Sayyidin, Paku, Qutb,
Kuda Kepang. Pelajaran-pelajaran ratu Adil kesemuanya berasal dari mazhab
Syi’ah. Kabarnya juga permainan kuda kepang memperlihatkan kepandaian kuda yang
dikendarai oleh sayyidina Husen ketika berperang di Karbala Irak.
2. Paham Syafi’i
Kekuasaan bani fatimiyah di Mesir diambil alaih oleh sultan salahuddin
al-ayyubi pada pertengahan abad VI H/XII M. kekuasaan bani Ayyubiyah berjalan
selama 42 tahun dan kemudian digantikan oleh kerajaan mamalik (mamluk) sampai
akhir abad IX H atau permulaan abad XVI M. Sebagai dimaklumi dalam sejarah
bahwa kearajaaan Ayyubiyah maupun kerajaan mamluk adalah penganut yang gigih
dalam menegakkan ahlussunnah yang bermazhab Sunni. Raja mamluk juga
memperhatikan perkembangan Islam yang ada di Indonesia. Diantara mubalig Islam
dari kerajaan Mamluk adalah orang yang bernama Ismail as-Siddiq yang datang ke
Pasai mengajaran agama Islam. Dengan usaha beliau ini umat Islam di Pasai
menganut paham Syafi’I kembali dan bahkan mengganti sultan Syi’ah dengan sultan
orang Indonesia asli yang bermazhab Syafi’I dengan nama Sultan malikussaleh
(1285-1297 M). Catatan-catatan Ibnu Batutah dalam perjalanannya sangat menolong
ahli sejarah untuk mencarai kebenaran sejarah, karena selain catatannya lengkap
juga jujur.
Ibnu batutah mengatakan bahwa ia singgah di negeri pasai tatkala diutus
oleh Sultan Delhi ke Tiongkok pada tahun 1345 M. Ia bertemu dengan Sultan
malikuz Zhahir seorang Sultan yang sangat teguh dalam memegang agama Islam yang
bermazhab Syafi’i.
3. Paham Wahdatul Wujud Atau Wujudiyah
Paham ini pada mulanya diajarkan oleh al-hallaj di bagdad yaitu seorang
yang Syi’ah yang dihukum mati di Bagdad pada tahun 992 M atau pada abad III H. Di
Sumatera, paham ini berkembang sesudah abad XV M. Dalam pengertian yang
sederhana ajaran ini mendasarkan pada faham persatuan wujud khalik dengan
makhluk. Di Jawa dinamakan paham Manunggaling ing Kawulo Gusti. Ajaran ini
membagi wujud zat menjadi dua satu kharijah (kulit luar) dan tsabitah (yang
tetap) yaitu al-Haqqu (Tuhan Allah). Jadi, apa yang dikatakan alam dan apa yang
dikatakan Allah pada hakekatnya satu. Wujud tuhan adalah wujudnya dan wujudnya
adalah wujud Tuhan, Tunhan bersatu dengannya. Ajaran ini dianut di Sumatra oleh
Syeik Syamsudin as-Sumatrani dan Hamzah Fansuri sedangkan di Jawa oleh Syeikh
Siti Jenar.
4. Wahdatus Syuhud
Paham ini lebih sebagai kebalikan dari pahah wujudiyah. Paham ini dibawa
ke Indonesia berbarengan dengan berkembangnya paham Syafi’i. Ajaran ini
menentang paham wahdatul wujud yang telah ada sebelum. Alasannya diantaranya
tentang Dimensi Tuhan dan maklhluknya tidak dapat diterima oleh syari’at. Penganut
paham ini di Sumatra dipelopori oleh Syeikh Nuruddin ar-Raniri dan Abdurrauf
as-Singkel sedangkan di Jawa oleh wali Songo. Syekh Nuruddin menentang paham
yang dianut oleh Hamzah Fansuri tentang wujud penciptaan yang digambarkan
dengan kun fayakun yang ditafsirkan secara Emanasi oleh Hamzah Fansuri. Sedangkan
di Jawa para wali Songo menentang apaham yang dianut oleh Syekh Siti Jenar
dengan Manuggaling Ing Kawulo Gusti-Nya. Bahkan Syekh Siti Jenar dihukum
mati oleh para wali tersebut begitu juga dengan Hamzah Fansuri.
2.7. PERKEMBANGAN ISLAM DI INDONESIA
1. Bidang
ilmu Pengetahuan
Kedudukan
para ulama’ yang diangkat sebagai penasehat kerajaan atau hakim, memberikan
kontribusi yang besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan Islam. Disamping
mereka memperoleh keleluasaan dalam menyebarkan ajaran Islam dan mencetak
kader-kader mubaligh, mereka juga mempunyai kesempatan untuk menulis buku-buku
dan kitab-kitab baik dalam ilmu umum maupun ilmu agama. Para ulam’ Indonesia
yang karyanya sangat terkenal pada masa itu antara lain ; Hamzah Fansury, dari Boros
Aceh, terkenal dengan tokoh sufi, hasil karyanya yang paling terkenal antara
lain “ Asrorul Arifin fi Bayan Ila Suluk Wat tauhid” , Nurudin Ar-Raniry (dari
aceh Barat ), telah banyak menulis buku-buku umum dan keagamaan.
2. Bidang
Kesenian
Perkembangan
bidang seni seperti yang dicontohkan para wali songo, sangat efektif dalam
penyampaian da’wah Islam, misalnya pagelaran wayang. Para wali telah mampu
mengakomodasi nilai-nilai Islam untuk disampaikan kepada masyarakat. Seni
sastra yang bercorak Islami juga berkembang, seperti hikayat, babat suluk dan
lain sebagainya. Bidang Arsitektur bangunan dapat dilihat bangunan Masjid Agung
Demak, Menara Kudus, Masjid Agung Banten, Kasepuhan Cirebon dan masih banyak
lagi.
Perkembangan kesenian sebagaimana yang dicontohkan di atas tentu tidak terlepas dari kepiawaian para ulama’ dahulu dalam menyiarkan agama Islam melalui pendekatan-pendekatan yang mudah diterima oleh masyarakat.
Perkembangan kesenian sebagaimana yang dicontohkan di atas tentu tidak terlepas dari kepiawaian para ulama’ dahulu dalam menyiarkan agama Islam melalui pendekatan-pendekatan yang mudah diterima oleh masyarakat.
3. Perkembangan
Organisasi-organisasi Islam
a.
Serikar Islam ( SI )
Organisasi
ini didirikan pada tanggal 10 September 1992. Serikat Islam ( SI ), tumbuh dari
organisasi pendahulunya yaitu ; Serikat Dagang Islam ( SDI ) yang didirikan
oleh Haji Samanhudi, sebenarnya organisasi ini telah berdiri sejak tahun 1909
di bawah pimpinan R.M. Tirtodisurjo, yang beranggotakan para pedagang muslim.
b.
Muhamadiyah
Organisasi
ini didirikan oleh K. H. Ahmad Dahlan pada tanggal 8 Zulkijjah 1330 (18
Nopember 1912) di Yogyakarta. Organisasis ini bergerak bergerak bidang
kemasyarakatan terupama di bidang pendidikan formal dan da’wah.
c.
Jong Islaminten Bond ( JIB )
Salah
satu organisasi Islam yang anggotanya kebanyakan dari golongan elite
berpendidikan barat yang tetap bepegang teguh pada prinsip-prinsip ajaran
Islam. Jong Islaminten Bond ( JIB ) didirikan di Jakarta pada taun 1925 oleh
para pemuda pelajar Islam.
d.
Nahdatul Ulama’
Organisasi
ini didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 M, atas prakarsa K.H. Hasyim Asy’ari
dan K.H. Abdul Hahab Hasbullah. Tujuan organisasi ini adalah untuk
memperjuangkan berlakunya ajaran Islam yang berhaluan ahli sunah wal jama’ah
dan menganut madzhab empat yaitu ; Hanafi, Maliki Syafi’i dan Hambali, dalam
wadah negara kesatuan.
e.
Al-Irsyad.
Organisasi
ini didirikan pada tahun 1814 di Jakarta. Para pendirinya sebagian besar
pedagang, pengusaha dan ulama’ yang berketurunan suku Arab, diantaranya Ahmad
Soorkati, Sholeh bin Ubaid, Syayid bin Salim Mashadi, Salam bin Umar Balfas,
Abdullah Harhara. Umar bin Saleh dan Nahdi.
f.
Persatuan Islam
Didirikan
pada tanggal 17 September 1923 M di Bandung. Pendirinya K. H. Zamzam.
Organisasi
ini berusaha keras untuk mengembalikan kaum muslimin kepada pimpinan Al-Qur’an
dan Al- Hadits, menghidupkan jihad dan ijtihad, membasmi bit’ah, kurafat,
tahayul, taklid dan syiri’, memperluas tabligh serta dakwah kepada masyarakat,
mendirikan pesantren dan sekolah untuk memdidik kader Islam.
g.
Persatuan tarbiyah Islamiah ( Perti ).
Organisasi
ini didirikan pada tanggal 20 Mei 1930 M. Gagasan untuk membentuk wadah ini
dilatar belakangi oleh perkembangan paham keagamaan di Sumatra Barat pada awal
abad XX. Perkembangan tersebut digerakkan oleh kaum muda untuk mengubah
tradisi, terutama gerakan tarikat.
4. Peranan
Umat Muslim dalam Pembangunan
Organisasi
Islam yang berperan dalam pembangunan Nasional bukan hanya mereka yang
tergabung dalam organisasi. Banyak orang Islam secara pribadi baik sebagai
dokter, dosen, pejabat negara, wakil rakyat di DPR, pengusaha, cendikiawan,
petani, guru, pengrajin, dan lain-lain. Mereka semuanya melakukan kegiatan
dengan sungguh-sungguh sesuai dengan profesi dan keahliannya masing-masing.
Tanpa terikat dengan organisasi keagamaan, mereka menyumbangkan dharma baktinya
kepada nusa dan bangsa. Memang menjadi umat Islam tidak harus menjadi anggota
organisasi atau partai Islam. Menurut Al Qur’an orang Islam yang baik adalah
yang paling bertakwa, yang beriman kepada Allah dan beramal shaleh, dimanapun
mereka berada.
Lembaga pendidikan Islam dalam kegiatannya lebih menekankan pembinaan, peningkatan ilmu pengetahuan dan kecerdasan masyarakat melalui pendidikan pada jalur sekolah dan luar sekolah. Melalui pendidikan ini secara bertahap ilmu pengetahuan bertambah meningkat dan sumber daya manusia lebih berkualitas. Dengan meningkatnya kualitas masyarakat maka hasil kerja masyarakatpun semakin meningkat. Denigan demikian dapat kdisimpulkan betapa besar peranan kelembagaan pendidikan Islam dalam pembangunan bangsa dan negara.
Lembaga pendidikan Islam dalam kegiatannya lebih menekankan pembinaan, peningkatan ilmu pengetahuan dan kecerdasan masyarakat melalui pendidikan pada jalur sekolah dan luar sekolah. Melalui pendidikan ini secara bertahap ilmu pengetahuan bertambah meningkat dan sumber daya manusia lebih berkualitas. Dengan meningkatnya kualitas masyarakat maka hasil kerja masyarakatpun semakin meningkat. Denigan demikian dapat kdisimpulkan betapa besar peranan kelembagaan pendidikan Islam dalam pembangunan bangsa dan negara.
5. Peran
Tokoh Agama
Proses penyebaran Islam di wilayah Nusantara tidak dapat dilepas
dari peran aktif para ulama. Melalui merekalah Islam dapat diterima dengan baik
dikalangan masyarakat. Di antara Ulama tersebut adalah sebagai berikut[1]:
a. Hamzah
Fansuri
Ia hidup pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda sekitar tahun
1590. Pengembaraan intelektualnya tidak hanya di Fansur-Aceh, tetapi juga
ke India, Persia, Mekkah dan Madinah. Dalam pengembaraan itu ia sempat
mempelajari ilmu fiqh, tauhid, tasawuf, dan sastra Arab.
b. Syaikh Muhammad
Yusuf Al-Makasari
Beliau lahir di Moncong Loe, Gowa, Sulawesi Selatan pada tanggal 3
Juli 1626 M/1037 H. Ia memperoleh pengetahuan Islam dari banyak guru, di
antaranya yaitu; Sayid Ba Alwi bin Abdullah Al-‘allaham (orang Arab yang
menetap di Bontoala), Syaikh Nuruddin Ar-Raniri (Aceh), Muhammad bin Wajih
As-Sa’di Al-Yamani (Yaman), Ayub bin Ahmad bin Ayub Ad-Dimisqi Al-Khalwati
(Damaskus), dan lain sebagainya.
c. Syaikh
Abdussamad Al-Palimbani
Ia merupakan salah seorang ulama terkenal yang berasal dari Sumatra
Selatan. Ayahnya adalah seorang Sayid dari San’a, Yaman. Ia dikirim ayahnya ke
Timur Tengah untuk belajar. Di antara ulama sezaman yang sempat bertemu dengan
beliau adalah; Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Abdul Wahab Bugis,
Abdurrahman Bugis Al-Batawi dan Daud Al-Tatani.
d. Syaikh Muhammad
bin Umar n-Nawawi Al-Bantani
Beliau lahir di Tanar, Serang, Banten. Sejak kecil ia dan kedua
saudaranya, Tamim dan Ahmad, di didik oleh ayahnya dalam bidang agama; ilmu
nahwu, fiqh dan tafsir. Selain itu ia juga belajar dari Haji Sabal, ulama
terkenal saat itu, dan dari Raden Haji Yusuf di Purwakarta Jawa Barat. Kemudian
ia pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan menetap disana kurang lebih
tiga tahun. Di Mekkah ia belajar Sayid Abmad bi Sayid Abdurrahman An-Nawawi,
Sayid Ahmad Dimyati dan Sayid Ahmad Zaini Dahlan. Sedangkan di Madinah ia
berguru kepada Syaikh Muhammad Khatib Sambas Al-Hambali. Selain itu ia juga
mempunyai guru utama dari Mesir.
Pada tahun 1833 beliau kembali ke Banten. Dengan bekal pengetahuan
agamanya ia banyak terlibat proses belajar mengajar dengan para pemuda di
wilayahnya yang tertarik denga kepandaiannya.. tetapi ternyata beliau tidak
betah tinggal di kampung halamannya. Karena itu pada tahun 1855 ia berangkat ke
Haramain dan menetap disana hingga beliau wafat pada tahun 1897 M/1314 H.
e. Wali Songo
Dalam sejarah penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di pulau
Jawa terdapat sembilan orang ulama yang memiliki peran sangat besar. Mereka
dikenal dengan sebutan wali songo.
Para wali ini umumnya tinggal di pantai utara Jawa sejak dari abad
ke-15 hingga pertengahan abad ke-16. Para wali menyebarkan Islam di Jawa di
tiga wilayah penting, yaitu; Surabaya, Gresik dan Lamongan (Jawa Timur), Demak,
Kudus dan Muria (Jawa Tengah), serta di Cirebon Jawa Barat. Wali Songo adalah
para ulama yang menjadi pembaru masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan
berbagai bentuk peradaban baru seperti, kesehatan, bercocok tanam, niaga,
kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan.
Adapun wali-wali tersebut yaitu; Maulana Malik Ibrahim, Sunan
Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Gunung Jati, Sunan
Drajat, Sunan Kudus dan Sunan Muria.
DAFTAR PUSTAKA
Dhafi. 2013. Makalah Sejarah Perkembangan Islam di Indonesia, (online).
(http://ukhuwahislah.blogspot.com/2013/06/makalah-sejarah-perkembangan-islam-di_7436.html, diakses 2 Oktober 2013).
[1]
Dhafi. 2013. Makalah Sejarah Perkembangan Islam di Indonesia, (online). (http://ukhuwahislah.blogspot.com/2013/06/makalah-sejarah-perkembangan-islam-di_7436.html,
diakses 2 Oktober 2013).
Sumber gambar: chaerolriezal.blogspot.com/