Perjuangan
Pada tahun 1921 Tan Malaka telah terjun ke
dalam gelanggang politik. Dengan semangat yang berkobar dari sebuah gubuk
miskin, Tan Malaka banyak mengumpulkan pemuda-pemuda komunis. Pemuda cerdas ini
banyak juga berdiskusi dengan Semaun (wakil ISDV) mengenai pergerakan
revolusioner dalam pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu juga merencanakan
suatu pengorganisasian dalam bentuk pendidikan bagi anggota-anggota PKI dan SI
(Sarekat Islam) untuk menyusun suatu sistem tentang kursus-kursus kader serta
ajaran-ajaran komunis, gerakan-gerakan aksi komunis, keahlian berbicara,
jurnalistik dan keahlian memimpin rakyat. Namun pemerintahan Belanda melarang
pembentukan kursus-kursus semacam itu sehingga mengambil tindakan tegas bagi
pesertanya.
Melihat hal itu Tan Malaka mempunyai niat
untuk mendirikan sekolah-sekolah sebagai anak-anak anggota SI untuk penciptaan
kader-kader baru. Juga dengan alasan pertama: memberi banyak jalan (kepada para
murid) untuk mendapatkan mata pencaharian di dunia kapitalis (berhitung,
menulis, membaca, ilmu bumi, bahasa Belanda, Melayu, Jawa dan lain-lain);
kedua, memberikan kebebasan kepada murid untuk mengikuti kegemaran mereka dalam
bentuk perkumpulan-perkumpulan; ketiga, untuk memperbaiki nasib kaum miskin.
Untuk mendirikan sekolah itu, ruang rapat SI Semarang diubah menjadi sekolah.
Dan sekolah itu bertumbuh sangat cepat hingga sekolah itu semakin lama semakin
besar.
Perjuangan Tan Malaka tidaklah hanya
sebatas pada usaha mencerdaskan rakyat Indonesia pada saat itu, tapi juga pada
gerakan-gerakan dalam melawan ketidakadilan seperti yang dilakukan para buruh
terhadap pemerintahan Hindia Belanda lewat VSTP dan aksi-aksi pemogokan,
disertai selebaran-selebaran sebagai alat propaganda yang ditujukan kepada
rakyat agar rakyat dapat melihat adanya ketidakadilan yang diterima oleh kaum
buruh.
Seperti dikatakan Tan Malaka pada pidatonya
di depan para buruh “Semua gerakan buruh untuk mengeluarkan suatu pemogokan
umum sebagai pernyataan simpati, apabila nanti menglami kegagalan maka pegawai
yang akan diberhentikan akan didorongnya untuk berjuang dengan gigih dalam
pergerakan revolusioner”.
Pergulatan Tan Malaka dengan partai komunis
di dunia sangatlah jelas. Ia tidak hanya mempunyai hak untuk memberi usul-usul
dan dan mengadakan kritik tetapi juga hak untuk mengucapkan vetonya atas
aksi-aksi yang dilakukan partai komunis di daerah kerjanya. Tan Malaka juga
harus mengadakan pengawasan supaya anggaran dasar, program dan taktik dari
Komintern (Komunis Internasional) dan Profintern seperti yang telah ditentukan
di kongres-kongres Moskwa diikuti oleh kaum komunis dunia. Dengan demikian
tanggung-jawabnya sebagai wakil Komintern lebih berat dari keanggotaannya di
PKI.
Sebagai seorang pemimpin yang masih sangat
muda ia meletakkan tanggung jawab yang sangat berat pada pundaknya. Tan Malaka
dan sebagian kawan-kawannya memisahkan diri dan kemudian memutuskan hubungan
dengan PKI, Sardjono-Alimin-Musso.
Pemberontakan 1926 yang direkayasa dari
Keputusan Prambanan yang berakibat bunuh diri bagi perjuangan nasional rakyat
Indonesia melawan penjajah waktu itu. Pemberontakan 1926 hanya merupakan
gejolak kerusuhan dan keributan kecil di beberapa daerah di Indonesia. Maka
dengan mudah dalam waktu singkat pihak penjajah Belanda dapat mengakhirinya.
Akibatnya ribuan pejuang politik ditangkap dan ditahan. Ada yang disiksa, ada
yang dibunuh dan banyak yang dibuang ke Boven Digoel, Irian Jaya. Peristiwa ini
dijadikan dalih oleh Belanda untuk menangkap, menahan dan membuang setiap orang
yang melawan mereka, sekalipun bukan PKI. Maka perjaungan nasional mendapat
pukulan yang sangat berat dan mengalami kemunduran besar serta lumpuh selama
bertahun-tahun.
Tan Malaka yang berada di luar negeri pada
waktu itu, berkumpul dengan beberapa temannya di Bangkok. Di ibu kota Thailand
itu, bersama Soebakat dan Djamaludddin Tamin, Juni 1927 Tan Malaka
memproklamasikan berdirinya Partai Republik Indonesia (PARI). Dua tahun
sebelumnya Tan Malaka telah menulis "Menuju Republik Indonesia". Itu
ditunjukkan kepada para pejuang intelektual di Indonesia dan di negeri Belanda.
Terbitnya buku itu pertama kali di Kowloon, Hong Kong, April 1925.
Prof. Mohammad Yamin, dalam karya tulisnya
"Tan Malaka Bapak Republik Indonesia" memberi komentar: "Tak
ubahnya daripada Jefferson Washington merancangkan Republik Amerika Serikat
sebelum kemerdekaannya tercapai atau Rizal Bonifacio meramalkan Philippina
sebelum revolusi Philippina pecah…."
Madilog
Madilog merupakan istilah baru dalam cara
berpikir, dengan menghubungkan ilmu bukti serta mengembangkan dengan jalan dan
metode yang sesuai dengan akar dan urat kebudayaan Indonesia sebagai bagian
dari kebudayaan dunia. Bukti adalah fakta dan fakta adalah lantainya ilmu
bukti. Bagi filsafat, idealisme yang pokok dan pertama adalah budi (mind),
kesatuan, pikiran dan penginderaan. Filsafat materialisme menganggap alam,
benda dan realita nyata obyektif sekeliling sebagai yang ada, yang pokok dan
yang pertama.
Bagi Madilog (Materialisme, Dialektika,
Logika) yang pokok dan pertama adalah bukti, walau belum dapat diterangkan
secara rasional dan logika tapi jika fakta sebagai landasan ilmu bukti itu ada
secara konkrit, sekalipun ilmu pengetahuan secara rasional belum dapat
menjelaskannya dan belum dapat menjawab apa, mengapa dan bagaimana.
Semua karya Tan Malaka dan permasalahannya
didasari oleh kondisi Indonesia. Terutama rakyat Indonesia, situasi dan kondisi
nusantara serta kebudayaan, sejarah lalu diakhiri dengan bagaimana mengarahkan
pemecahan masalahnya. Cara tradisi nyata bangsa Indonesia dengan latar belakang
sejarahnya bukanlah cara berpikir yang teoritis dan untuk mencapai Republik
Indonesia sudah dia cetuskan sejak tahun 1925 lewat Naar de Republiek
Indonesia.
Jika membaca karya-karya Tan Malaka yang
meliputi semua bidang kemasyarakatan, kenegaraan, politik, ekonomi, sosial,
kebudayaan sampai kemiliteran (Gerpolek-Gerilya-Politik dan Ekonomi, 1948),
maka akan ditemukan benang putih keilmiahan dan ke-Indonesia-an serta benang
merah kemandirian, sikap konsisten yang jelas dalam gagasan-gagasan serta
perjuangannya.
Pahlawan
Peristiwa 3 Juli 1946 yang didahului dengan
penangkapan dan penahanan Tan Malaka bersama pimpinan Persatuan Perjuangan, di
dalam penjara tanpa pernah diadili selama dua setengah tahun. Setelah meletus
pemberontakan FDR/PKI di Madiun, September 1948 dengan pimpinan Musso dan Amir
Syarifuddin, Tan Malaka dikeluarkan begitu saja dari penjara akibat peristiwa
itu.
Di luar, setelah mengevaluasi situasi yang
amat parah bagi Republik Indonesia akibat Perjanjian Linggajati 1947 dan
Renville 1948, yang merupakan buah dari hasil diplomasi Sutan Syahrir dan
Perdana Menteri Amir Syarifuddin, Tan Malaka merintis pembentukan Partai MURBA,
7 November 1948 di Yogyakarta.
Pada tahun 1949 tepatnya bulan Februari Tan
Malaka hilang tak tentu rimbanya, mati tak tentu kuburnya di tengah-tengah
perjuangan bersama Gerilya Pembela Proklamasi di Pethok, Kediri, Jawa Timur.
Tapi akhirnya misteri tersebut terungkap juga dari penuturan Harry A. Poeze,
seorang Sejarawan Belanda yang menyebutkan bahwa Tan Malaka ditembak mati pada
tanggal 21 Februari 1949 atas perintah Letda Soekotjo dari Batalyon Sikatan,
Divisi Brawijaya.
Direktur Penerbitan Institut Kerajaan
Belanda untuk Studi Karibia dan Asia Tenggara atau KITLV, Harry A Poeze kembali
merilis hasil penelitiannya, bahwa Tan Malaka ditembak pasukan TNI di lereng
Gunung Wilis, tepatnya di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri
pada 21 Februari 1949.
Namun berdasarkan keputusan Presiden RI No.
53, yang ditandatangani Presiden Soekarno 28 Maret 1963 menetapkan bahwa Tan
Malaka adalah seorang pahlawan kemerdekaan Nasional.
Tan Malaka dalam fiksi
Dengan julukan Patjar Merah Indonesia Tan
Malaka merupakan tokoh utama beberapa roman picisan yang terbit di Medan.
Roman-roman tersebut mengisahkan petualangan Patjar Merah, seorang aktivis
politik yang memperjuangkan kemerdekaan Tanah Air-nya, Indonesia, dari
kolonialisme Belanda. Karena kegiatannya itu, ia harus melarikan diri dari
Indonesia dan menjadi buruan polisi rahasia internasional.
Salah satu roman Patjar Merah yang terkenal
adalah roman karangan Matu Mona yang berjudul Spionnage-Dienst (Patjar Merah
Indonesia). Nama Pacar Merah sendiri berasal dari karya Baronesse Orczy yang
berjudul Scarlet Pimpernel, yang berkisah tentang pahlawan Revolusi Prancis.
Dalam cerita-cerita tersebut selain Tan
Malaka muncul juga tokoh-tokoh PKI dan PARI lainnya, yaitu Muso (sebagai Paul
Mussotte), Alimin (Ivan Alminsky), Semaun (Semounoff), Darsono (Darsnoff),
Djamaluddin Tamin (Djalumin) dan Soebakat (Soe Beng Kiat).
Kisah-kisah fiksi ini turut memperkuat
legenda Tan Malaka di Indonesia, terutama di Sumatera.
Beberapa judul kisah Patjar Merah: Matu
Mona. Spionnage-Dienst (Patjar Merah Indonesia). Medan (1938) Matu Mona. Rol
Patjar Merah Indonesia cs. Medan (1938) Emnast. Tan Malaka di Medan. Medan
(1940) Tiga kali Patjar Merah Datang Membela (1940) Patjar Merah Kembali ke
Tanah Air (1940)