Seorang Atheis (tidak percaya tuhan) “mengenal”
Tuhan dengan cara menolaknya. Di manapun dan kapanpun ia terus berpikir keras
bagaimana berusaha menolak keberadaan Tuhan lewat ilmu pengetahuan. Sementara
seorang agamis yang percaya Tuhan, adem ayem saja, jarang menyebut-nyebutnya
atau bahkan mengejarNya
Jadi kalau dipikir-pikir orang Atheis pada dasarnya lebih banyak
“menyebut” Tuhan dalam penolakannya, ketimbang yang agamis dalam penerimaanya.
Seorang agamis yang merasa mengenal Tuhan, dalam kiprahnya kadang
berbanding terbalik dengan para atheis yang berusaha menolak Tuhan dengan
berbagai upaya. Dia berpikir habis-habisan untuk menolak konsep Tuhan.
Satu-satunya pemikiran yang dikedepankan kebanyakan lewat ilmu pengetahuan.
Tidak jarang dengan pengetahuan ini banyak sekali ilmu-ilmu dan teknologi
tercipta.
Dalam contoh sehari-hari bisa dijumpai pada sepasang kekasih. Di
mana wanita yang membenci anda sebagai pacarnya selalu menghindar dan
terus-menerus meneyebut namamu dalam kebenciannya. Sementara wanita yang
mencintai anda biasa-biasa saja tidak pernah cerita dan tidak pernah
mengingatmu. Maka boleh jadi yang membenci itu adalah yang mencintai.
Tuhan dekat tapi jauh
Konsep “Tuhan sudah mati” dari Nietzsche ini saya mengandaikan
bahwa konsep tentang Tuhan bagi dia adalah “jauh”, bahkan terus dijauhi karena
tidak dipercayai. Tapi jangan lupa “jauh-dekat” bagi kaum agamis pun menemukan
hal yang sama. Misalnya, kitab wahyu, bahwa Tuhan itu dekat bahkan
sedekat dari urat nadi. Ini berarti seakan-akan Tuhan itu dimaknai dekat
bagi kaum agamis, dan jauh bagi atheis
Tapi lihatlah kenyataanya misalnya dalam
perjalanan bangsa di negeri yang mayoritas beragama ini. Kitab wahyu
telah menyatakan Tuhan itu dekat, bahkan menjadi bahan perbincangan di
mana-mana, tetapi silang sengkarut negeri ini juga tidak kalah hebatnya.
Dari sini, artinya dosa seorang agamis
menanggung lebih besar daripada dosa Atheis… Sebab sang Atheis masih
mendasarkan moralitas pada akal budi, sementara kaum agamis masih
berkutat pada “buku” dan jarang dikunyah di akal budi. Agamis mempercayai
Tuhan tetapi miskin aplikasi, sementara sang atheis action lebih diutamakan.
Dampaknya, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kaum atheis lebih dahulu
ketimbang kaum agamis (islam).
Kalau atheisme benar-benar jujur tidak mengakui konsep ketuhanan,
kemudian mengandalkan akal budi dan ilmu pengetahuan sebagai pijakannya. Namun
bagi kaum agamis masih berkutat kepada “buku” pedoman dalam mengurai berbagai
kerumitan hidupnya, urusan sosial kemasyrakatan bahkan cenderung akal dan ilmu
pengetahuan dikesampingkan.
Inilah yang sangat disayangkan, kemajuan orang agamis cenderung
ragu-ragu karena ketidak jujuran dalam konsep ketuhanan. Ketidak jujuran yang
saya maksud semacam sifat munafik, dalam istilah agama. Merasa mahir menguasai
isi buku, namun aplikasinya bertentangan. Bukankah ini sama saja dengan “jauh
dari Tuhan?”
Namun giliran mendapatkan tekanan atau “serangan”, yang
dipersalahkan adalah pihak di luar dirinya, Girilan mendapat semacam “kritikan”
dan “ancaman” eksistensi, maka dengan serta merta mengutip tulisan di “buku”
bahwa yang lain adalah sesat (kafir).
Nietzsche Tasawufnya orang Atheis
Dalam benak para pemerhati, Nietzsche itu dianggap sebagai
“sufi”nya kaum atheis dalam pengembaraaanya. Sebab pemikirannya yang mendobrak
filsafat dan agama membuat buah pikirnya dikaji ulang hingga kini.
Menurut analogi para pemerhati sastra, mirip dengan pengalaman Al
Ghazali dalam pengembaraannya menemukan jati diri dalam tasawuf.
Imam Al Ghazali berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan
dengan terus-menerus mensucikan dirinya dan menyebut asmaNya. Ihya ‘Ulumuddin,
salah satu dari puluhan karya tulisanya bisa mewakiliki corak tasawuf Al
Gahzali. Sebelumnya, beliau menulis buku pergulatan tasawuf dan perdebatannya
seperti Tahafutul falasifah, kerusakan filsafat. Beliau menghabiskan dan
mengasingkan diri dari kehidupan “mewah” nya sebagai ilmuwan lalu mengasingkan
diri hingga wafatnya. Dalam satu kesempatan beliau menulis, ada seekor lalat yang
ingin meminum tinta, namun sang imam membiarkannya. Kemudian oleh muridnya
menulis bahwa sang Imam masuk syurga karena nilai “ikhlas” sang Imam saat
membiarkan lalat meminum tintanya.
Hal yang mirip pada Nietsche dalam kehidupannya adalah beliau
penyendiri, suka mengasingkan diri paling tidak beliau. Dan filsafat yang
dimiliki Nietzsche merupakan filsafat cara memandang ‘kebenaran’. Nietzsche
juga dikenal sebagai “sang pembunuh Tuhan” (dalam Also sprach Zarathustra).
Kalau Al Ghozali mengkritisi konsep filsafat yang ada, maka bagi Nietzsche,
mengkritik serta memprovokasi kebudayaan Barat di zaman-nya, atas pengaruh
pemikiran Plato dan tradisi kekristenan. Apa yang dikritisinya adalah paradigma
kehidupan setelah kematian. Walaupun demikian dengan kematian Tuhan berikut
paradigma kehidupan setelah kematian tersebut, filosofi Nietzsche tidak menjadi
sebuah filosofi nihilisme. Justru sebaliknya yaitu sebuah filosofi untuk
menaklukan nihilisme [1] (Überwindung der Nihilismus) dengan mencintai utuh
kehidupan (Lebensbejahung), dan memposisikan manusia sebagai manusia purna
Übermensch dengan kehendak untuk berkuasa (der Wille zur Macht). (sumber:
wikipedia)
Selain itu, Nietzsche seorang filsuf seniman (Künstlerphilosoph)
dan banyak mengilhami pelukis modern Eropa di awal abad ke-20, seperti Franz
Marc, Francis Bacon,dan Giorgio de Chirico, juga para penulis seperti Robert
Musil, dan Thomas Mann. Menurut Nietzsche kegiatan seni adalah kegiatan
metafisik yang memiliki kemampuan untuk me-transformasi-kan tragedi hidup. Hal
yang mirip dimiliki sebagian besar sufi, adalah suka seni, baik musik dan
lainnya.
Aku ngeri
Akan kedalaman malam
sang dosa
Dan enggan kuberpaling,
Tak sanggup abaikanMu,
Di dalam seram ngeri,
Dengan pilu
Aku menatapMu, harus merengkuhMu
(kutipan puisi Nietzsche, Engkau Memanggil, Tuhan, kuhampiri)