BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Muhammadiyah
adalah organisasi yang bergerak dibidang dakwah Islam. Organisasi ini merupakan
salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia. Sejak berdiri pada tanggal 8
Dzulhijjah 1330H/18 November 1912M telah mengalami banyak pertentangan terhadap
gebrakan pembaruan yang diusung oleh pendirinya, yaitu K.H. Ahmad Dahlan. Hal
ini disebabkan oleh ajaran yang dibawa oleh Ahmad Dahlan sangat berbeda jauh
dari apa yang telah diamalkan secara turun-temurun.
Kelahiran dan
keberadaan Muhammadiyah pada awal berdirinya tidak lepas dan merupakan
menifestasi dari gagasan pemikiran dan amal perjuangan Kyai Haji Ahmad Dahlan
(Muhammad Darwis). Setelah menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci dan bermukim
yang kedua kalinya pada tahun 1903, Kyai Dahlan mulai menyemaikan benih
pembaruan di Tanah Air. Gagasan pembaruan itu diperoleh Kyai Dahlan setelah
berguru kepada ulama-ulama Indonesia yang bermukim di Mekkah seperti Syeikh
Ahmad Khatib dari Minangkabau, Kyai Nawawi dari Banten, Kyai Mas Abdullah dari
Surabaya, dan Kyai Fakih dari Maskumambang; juga setelah membaca
pemikiran-pemikiran para pembaru Islam seperti Ibn Taimiyah, Muhammad bin Abdil
Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Dengan modal
kecerdasan dirinya serta interaksi selama bermukim di Ssudi Arabia dan bacaan
atas karya-karya para pembaru pemikiran Islam itu telah menanamkan benih
ide-ide pembaruan dalam diri Kyai Dahlan. Jadi sekembalinya dari Arab Saudi,
Kyai Dahlan justru membawa ide dan gerakan pembaruan, bukan malah menjadi
konservatif (muhammadiyah.or.id).
B.
Rumusan Masalah
Dari latar
belakang di atas dapat dirumuskan masalah pokok dalam makalah ini yaitu apakah
latar belakang yang mendasari berdiriya organisasi Muhammadiyah dan bagaimana
ciri perjuangannya?
C.
Tujuan
Makalah ini
bertujuan untuk memberi jawaban terhadap masalah pokok di atas, yaitu apakah
latar belakang yang mendasari berdirinya organisasi Muhammadiyah dan bagaimana
ciri perjuangannya.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Latar Belakang Berdirinya Muhammadiyah
Secara garis
besar, menurut Syaifullah dalam bukunya, Gerakan Politik Muhammadiyah Dalam
Masyumi, ada empat masalah pokok yang melatar belakangi berdirinya
Muhammadiyah, yaitu:
1.
Aspirasi Islam Ahmad Dahlan
2.
Realitas sosio-agama di Indonesia
3.
Realitas sosio-pendidikan di Indonesia
4.
Realitas politik Islam Hindia-Belanda
A. 1
Aspirasi Islam Ahmad Dahlan
Ahmad
Dahlan mendirikan Muhammadiyah tidak secara kebetulan, tetapi didorong oleh
aspirasinya yang besar tentang masa depan Islam Indonesia. Aspirasi ini dapat
dilacak dari perjalanan intelektual, spiritual, dan sosial Ahmad Dahlan dalam
dua fase dari biografi kehidupannya, yaitu fase pertama, setelah menunaikan
ibadah haji yang pertama (1889), dan fase kedua, setelah menunaikan ibadah haji
yang kedua tahun 1903 (Syaifullah, 1997:27-28).
Pada
ibadah haji pertama, Ahamad Dahlan masih berusia 20 tahun. Motivasi lebih
didorong oleh upaya peningkatan spiritual pribadinya, dengan cara menunaikan
rukun Islam yang kelima, yaitu ibadah haji. Di samping motivasi spiritual,
ibadah haji kali ini juga dimanfaatkan oleh Ahmad Dahlan untuk menimba
ilmu-ilmu keislaman. Dalam kaitan ini Ahmad Dahlan diharapkan dapat meningkat
kualitas spiritual dan intelektual ilmu keislamannya.
Di pusat
studi Islam ini, Ahmad Dahlan menemukan banyak hal tentang studi Islam yang
jarang ditemui di Indonesia. Menurutnya, Islam tidak hanya dipahami secara
kognitif semata, tetapi ada kewajiban untuk menerjemahkan ke dalam bentuk aksi
sosial sebagai wujud perbaikan masyarakat. Dalam bahasa sekarang, seseorang
yang mendalami Islam tidak hanya dituntut mempunyai kesalehan individual
semata, tetapi juga perlu memiliki kesalehan sosial yang justru merupakan suatu
keharusan untuk dilakukan sebagai bukti kedalaman iman yang diperolehnya
(Tamimi, 1990:4).
Hasil
konkret dari studinya di Mekah setelah menunaikan ibadah haji pertama ini,
dapat dilihat dalam aktivitas keagamaan Ahmad Dahlan, misalnya : pembenahan
arah kiblat (1897), masalah pemberian garis shaf untuk shalat (1897), renovasi
pembangunan mushala Ahmad Dahlan, namun kemudian dibakar masyarakat (1898), dan
perluasan pembangunan dan pengembangan pesantren milik ayahnya (Sjoeja’,dalam
Saifullah dan Musta’in, eds.,1995: 24-43).
Pada haji
yang kedua sebagai awal fase kedua dari perjalanan biografinya, Ahmad Dahlan
menemukan metodologi untuk memahami Islam yang sebenarnya. Pada haji yang kedua
ini, Ahmad Dahlan memasuki usia 34 tahun. Di samping bermaksud menunaikan haji
sebagai pelaksanaan rukun Islam yang kelima untuk yang kedua kalinya, Ahmad
Dahlan juga bermaksud memperdalam Islam lebih dalam lagi. Karena itu, untuk
maksud kedua ini, setelah selesai menunaikan rukun kelima, ia memutuskan untuk
bermukim di Mekah selama 20 bulan.
Selama
berada di Mekah ini, Ahmad Dahlan memperdalam studi Islam tradisional kepada
ulama termasyhur, baik kepada ulama kelahiran Indonesia maupun ulama setempat
yang telah menjadi syaikh di sana.
Diskusi
secara intens yang dilakukan dengan tokoh-tokoh tersebut, baik langsung maupun
melalui karya-karya mereka, banyak memberikan wawasan keislaman Ahmad Dahlan
untuk menjawab kegelisahannya tentang praktek keislaman masyarakat muslim
Indonesia. Di sinilah, nampak secara signifikan pengaruh pembaharuan Timur
Tengah terhadap diri Ahmad Dahlan. Seperti yang dikemukan oleh pembaharu, untuk
keluar dari krisis yang melanda dunia Islam, umat Islam harus kembali kepada
al-Qur’an dan al-sunnah
al-maqbulah. Pemahaman terhadap kedua sumber ajaran Islam ini,
menurut Ahmad Dahlan, penggunaan akal dan hati menjadi sesuatu yang tidak bisa
ditolak. Dengan cara demikian, akan ditemukan Islam yang sebenar-benarnya
(Tamimi, 1990: 6). Pemahaman seperti ini yang membuat seorang Mas Mansur
terkesan terhadap caranya yang selama ini jarang ia temukan dilakukan oleh
ulama zamannya (Saifullah, 1997: 31).
Mewujudkan
obsesinya tentang masa depan Islam Indonesia, Ahmad Dahlan berpendapat perlunya
rekonstruksi menyeluruh atas masyarakat muslim Indonesia, mulai etos kerja,
keilmuan, sampai metodologi pemahaman Islam yang tepat. Untuk rekonstruksi yang
terakhir ini merupakan persoalan yang paling mendasar dan strategis untuk
diperbaiki oleh karena metodologi pemahaman Islam mempunyai implikasi yang jauh
dalam perilaku keagamaan umat Islam dalam menjawab tantangan modernitas.
Maksud
rekonstruksi di atas, Ahmad Dahlan mengajukan metodologi pemahaman yang
rasional-fungsional. Rasional adalah menelaah sumber utama ajaran Islam dengan
kebebasan akal pikiran dan kejernihan akal nurani (hati), sekaligus membiarkan
al-Qur’an berbicara tentang dirinya sendiri. Adapun dimaksud dengan fungsional
dalam konteks pemahaman Ahmad Dahlan adalah keharusan merumuskan pemahaman ke
dalam bentuk aksi sosial. Artinya pemahaman ayat-ayat al-Qur’an harus bisa
mentransformasikan kondisi riil masyarakat menjadi lebih baik. (Saifullah,
1997: 33).
Model
pemahaman Ahmad Dahlan dalam memahami Islam yang langsung merujuk kepada sumber
ajaran Islam (al-Qur’an dan sunnah), merupakan metode yang masih asing, oleh
karena para ulama Indonesia waktu itu dalam memahami Islam langsung merujuk
kepada kitab madzhab tertentu. Cara seperti ini, jelas membantu ajaran Islam
yang dirumuskan mengandung bias, oleh karena kitab-kitan hyang dirujuk itu
ditulis bukan untuk seluruh negeri muslim, bahkan rumusan ajaran Islam nya
banyak dipengaruhi situasi sosial penulisnya.
Ahmad
Dahlan berkesimpulan bahwa hakikat Islam itu adalah konsepsi hidup yang dalam
bahasa al-Qur’an disebut risalah Allah. Tujuan Allah memberikan konsepsi Islam
ini bagi manusia sebagai konsekwensi bahwa Allah menciptakan manusia di dunia
ini secara serius, mempunyai tujuan tertentu dan tidak main-main.
Hakikat
risalah yang dipahami Ahmad Dahlan tersebut menuntut pengamalan konkret. Karena
Islam sebagai konsepsi hidup, maka pengamalan risalah tidak cukup untuk seorang
diri, tetapi diharuskan untuk disampaikan kepada masyarakat. Dengan demikian,
kehadiran Islam akan bisa dirasakan secara nyata oleh masyarakat. Untuk itu,
diperlukan organisasi atau institusi sebagai alat perjuangan yang mampu
mengorganisasi secara efisien, yang oleh Ahmad Dahlan institusi ini diberi nama
Muhammadiyah. (QS. Ali Imron (3) : 104). Jadi, Muhammadiyah merupakan alat
semata yang dirasa sangat efektif untuk menerjemahkan dan membumikan ajaran
Islam kepada masyrakat. (Tamimi, 1990 : 5-6).
Dari
penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa setelah menunaikan ibadah haji
pertama dan kedua, Ahmad Dahlan mempunyai obsesi besar tentang masa depan Islam
yang mampu membebaskan masyarakat seperti yang diperankan Rasulullah dan para salafiyun.
Islam harus dipahami dari sumber utamanya, yaitu al-Qur’an dan al-sunnah. Dalam
memahami sumber ajaran Islam, Ahmad Dahlam mengajukan metodologi pemahaman yang
rasional-fungsional. Untuk keperluan ini akal pikiran yang bebas dan akal
nurani yang jernih serta membiarkan al-Qur’an berbicara sendiri dalam
memecahkan problem. Dalam perspektif pemahaman ini, pemahaman terhadap ayat
al-Qur’an tidak sekedar pada tataran kognitif, tetspi menuntut aktualisasi
nyata sehingga masyarakat dapat merasakan perubahan yang lebih baik. Dengan
cara demikian, risalah Islam sebagai hudan dan rahmat li al-‘alamin itu terjadi di dalam masyarakat.
A. 2
Realitas Sosio-Agama Di Indonesia
Dalam
pandangan Ahmad Dahlan, Islam sebagai agama maupun Islam sebagai tradisi
pemikiran yang terjadi di Indonesia boleh dikatakan macet total. Islam sebagai
agama di Indonesia menurut Ahmad Dahlam tidak mampu membawa dan mendorong umat
Islam Indonesia menjadi masyarakat yang dinamis, maju, dan modern. Padahal,
bila dilacak dalam sejarah, khususnya yang diperankan Rasulullah dan para salafiyun,
Islam mampu mengantarkan umat Islam menuju masyarakat dengan peradaban kelas
tinggi. Kemacetan dalam tubuh Islam Indonesia terjadi tidak hanya pada Islam
sebagai agama saja, tetapi Islam sebagai tradisi pemikiran juga mengalami
kemacetan.
Islam
sebagai agama, ajaran-ajarannya banyak dipengaruhi oleh budaya local yang
sebelumnya memang telah berkembang di Indonesia. Banyak praktek-praktek
keagamaan yang tidak lagi didasarkan pada sumber utama Islam, yakni al-Qur’an
dan sunnah
maqbulah. Akibat dari kondosi demikian, muncul pengamalan ajaran
Islam yang bid’ah.
Khurafat, dan takhayyul.
Sebelum
kehadiran Islam, penduduk Nusantara mempunyai tiga kepercayaan, yaitu animisme,
dinamisme, dan toteisme. Dinamisme adalah kepercayaan bahwa setiap
benda yang ada mempunyai kekuatan ghaib. Sedang animisme adalah
kepercayaan tentang arwah nenek moyang mereka. Adapun toteisme
adalah kepercayaan tentang adanya orang yang telah meninggal yang kemudian
menjelma menjadi harimau, babi, dan sebagainya yang diyakini sebagai penjelmaan
orang yang baru meninggal dunia. Dinamisme, animisme, dan toteisme ini dalam
banyak hal senafas dengan pandangan Hindu dan Budha yang belakangan masuk ke
Indonesia (Saifullah, 1997:37-38).
Dalam
rentang waktu 7 abad, dari abad XIII sampai akhir abad XIX, proses masuk dan
berkembangnya Islam di Jawa mengalami dialog pergumulan budaya yang panjang.
Corak Islam yang murni tersebut mengalami akulturasi dengan kebudayaan Jawa dan
singkritisasi dengan kepercayaan pra-Islam atau Hindu. Tradisi Hindu tidak
dikikis habis, padahal dalam beberapa hal tradisi tersebut bertentangan dengan
paham monoteisme
yang dibawa Islam.
Dalam
bidang kepercayaan dan ibadah, muatannya menjadi khurafat dan bid’ah.
Khurafat adalah
kepercayaan tanpa pedoman yang sah dari al-Qur’an dan Sunnah, hanya ikut-ikutan
orang tua atau nenek moyang. Contohnya : penghormatan pada kuburan orang-orang
suci. Sedangkan bid’ah
biasanya muncul karena ingin memperbanyak ritual tetapi pengetahuan
Islamnya kurang luas, sehingga yang dilakukan adalah sebenarnya bukan bersumber
dari ajaran Islam. Contohnya : selamatan dengan kenduri dan tahlil.
A.Rifa’I
seperti yang dikutip Majlis Pustaka (1993: 13-14), menyimpulkan bahwa
pengamalan Islam yang dilakukan orang Jawa banyak yang menyimpang dari ajaran akidah
Islamiyah dan harus diluruskan. Akkibat dari praktek-praktek ini,
ajaran Islam tidak murni, tidak berfungsi sebagaimana mestinya, dalam arti
tidak memberikan manfaat kepada pemeluknya.
Realitas
sosio-agama yang dipraktekkan masyarakat inilah yang mendorong Ahmad Dahlan
mendirikan Muhammadiyah. Namun, gerakan pemurniannya baru dilakukan pada tahun
1916, empat tahun setelah Muhammadiyah berdiri, saat Muhammadiyah mulai
berkembang ke luar kota Yogyakarta.
A. 3
Realitas Sosio-Pendidikan Di Indonesia
Ada dua
sistem pendidikan yang berkembang di Indonesia, yaitu pendidikan pesantren dan
pendidikan Barat. Pendidikan yang disebut pertama ini mengajarkan studi
keislaman tradisional, misalnya ilmu kalam, ilmu fiqih, tasawuf, bahasa Arab
berikut variasinya, ilmu hadis, ilmu tafsir, dll. Studi ini banyak diminati
orang-orang yang dalam kategori Geerts disebut dengan santri. Proses belajar
mengajar di lembaga pendidikan ini juga masih tradisional. Banyak alumni
lembaga pendidikan ini memiliki pola pikir yang menjauh dari perkembangan
modern.
Sementara
itu, pendidikan yang disebut kedua hanya mengajarkan ilmu-ilmu yang diajarkan
di dunia Barat. Metode pengajaran sudah menggunakan metode modern. Pendidikan
yang diselenggarakan oleh pemerintah colonial ini tidak diajarkan ilmu-ilmu
yang diajarkan di pesantren. Kebanyakan siswa yang bisa masuk dalam pendidikan
yang disebut terakhir ini adalah orang-orang yang dalam kategori Geerts disebut
dengan abangan. Sekola-sekolah yang didirikan oleh kolonial Belanda di atas,
diselenggarakan sangat sekuler, dalam arti pelajaran agama atau semangat agama
tidak diberikan, bahkan pelajaran umum, misalnya sejarah dan ilmu bumi,
bermuatan Belanda sentris, terlepas dari kebudayaan Indonesia. Akibatnya, sekolah-sekolah
tersebut merupakan masyarakat sendiri yang terlepas dari kehidupan bangsa
Indonesia. Sekolah-sekolah itu melahirkan golongan baru yang disebut golongan
intelek. Golongan ini umumnya bersifat negative terhadap Islam, dan alam
pikirannya tercabut dari bangsanya sendiri. Ini hasil dari politik asosiasi
Hurgronje dan politik etis Van Deventer. Bahkan alumni sekolah-sekolah ini
menjadi antek-antek Belanda (Tamimi, 1990:9).
Kondisi
internal pendidikan pesantren di satu pihak, model penyelenggaran, karakter,
dan produk alumni model pendidikan ala Barat di pihak lain, seperti dijelaskan
di atas, mendorong Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah. Melalui Muhammadiyah,
Ahmad Dahlan ingin mendirikan lembaga pendidikan yang mengajarkan yang
memadukan dua karakter dari dua model lembaga pendidikan yang berkembang waktu
itu, mengajarkan semangat Islam dan semangat modern. Dengan demikian, umat
Islam tidak hanya fasih berbicara tentang Islam, seperti alumni pesantren,
tetapi juga berwawasan luas tentang perkembangan modern.
A. 4
Realitas Politik Islam Hindia-Belanda
Salah satu
faktor penting dari latar historis kelahiran Muhammadiyah adalah realitas
politik Islam Hindia Belanda. Dalam dataran teoritis, politik Islam Hindia
Belanda sebetulnya ingin menerapkan kebijakan netralitas terhadap agama, tidak
memihak kepada agama tertentu dan tidak memandang agama tertentu pula sebagai
sesuatu yang berbahaya (Saifullah, 1997:56). Namun, dalam dataran realitas,
netralitas yang didengunngkan itu hanya omong kosong. Kebijakan netralitas itu
hanya strategi semata untuk mengelabui umat Islamagar umat Islam bisa menerima
kehadirannya sebagai penjajah. Bahkan justru sebaliknya, untuk maksud
kehadirannya, pemerintah Hindia Belanda harus membuat kebijakan tertentu yang
bisa secara efektif mencegah perlawanan umat Islam terhadap penjajah.
Kebohongan
publik itu harus dilakukan karena pemerintah Hindia Belanda mempunyai
kepentingan untuk melanggengkan eksistensi kolonialismenya di bumi Nusantara
ini selama mungkin, sementara pemerintah Hindia Belanda menyadari bahwa negara
yang dijajah ini adalah masyarakat Indonesia, yang mayoritas beragama Islam.
Karena itu, bila tidak melakukan kebohongan public, eksistensi sebagai penjajah
tidak berlangsung lama. Dari sini, Belanda mulai menerapkan kebijakan-kebijakan
politik yang dapat menurunkan semangat perlawanan yang diyakini bersumberkan
dari ajaran, yakni ajaran Islam.
Setidaknya
dapat dibagi menjadi dua periode dalam melihat politik Islam Hindia Belanda. Pertama, periode
sebelum kedatangan Snouck Hurgronje dan kedua, periode setelah Snouck Hurgronje menjadi
penasihat Belanda untuk urusan Pribumi di Indonesia. Dalam periode pertama,
Belanda hanya berprinsip agar penduduk Indonesia yang beragama Islam tidak
memberontak. Untuk memenuhi prinsip ini, Belanda menerapkan dua strategi, di
satu pihak, Belanda membuat kebijakan-kebijakan yang sifatnya membendung,
misalnya memantau dan membatasi berbagai kegiatan pengamalan ajaran Islam, dan
di pihak lain, Belanda melakukan kristenisasi bagi penduduk Indonesia. Dalam
pelarangan pengamalan ajaran Islam, pada periode ini Belanda tidak membedakan
aspek-aspek ajaran Islam mana yang harus dilarang. Pokoknya, kegiatan-kegiatan
keislaman harus dieliminir sedemikian rupa, sehingga dapat mengurangi
perlawanan.
Kebijakan
pemerintah Hindia Belanda terhadap Islam banyak mengalami perubahan setelah
penasehat urusan pribumu dijabat oleh Snouck Hurgronje. Dalam hal ini, tidak
seluruh kegiatan pengamalan Islam harus dihalangi, bahkan dalam hal-hal
tertentu harus didukung. Kebijakan ini didasarkan atas pengalaman Snouck,
terutama kunjungannya ke Mekah. Dia menetap selama tujuh bulan di sana, dengan
menyamar sebagai seorang muslim bernama Abdul Ghaffar. Di Mekah, Snouck
sebanyak mungkin bergabung dengan masyarakat Indonesia dan mempelajari banyak
hal mengenai lembaga dan kegiatan keagamaan mereka (Shihab, 1998:83; Bakri,
1990:52).
Dari
pengalamannya itu, Snouck mengecam pembatasan bagi orang Islam yang menunaikan
ibadah haj, seperti dilakukan penasehat Belanda sebelumnya. Yang perlu dikhawatirkan
justru orang Islam yang belajar dan menetap bertahun-tahun di Mekah,yang
akhirnya menumbuhkan dalam diri mereka rasa persatuan dan kesatuan dengan
seluruh kaum muslimin brdasarkan identitas keislaman yang sama-sama
mereka hayati. (Suminto, 1989:92).
Atas dasar
itu, Snouck selalu mencurigai setiap umat Islam yang baru pulang ke Indonesia
setelah menyelesaikan studi di Timur Tengah. Mereka selalu dipersulit,
diinterogasi bahkan barang yang dibawa diperiksa satu demi satu. Buku-buku
tertentu yang membangkitkan perlawanan disita untuk dimusnahkan. Kebanyakan
buku-buku itu adalah karya tokoh-tokoh pembaharu, semisal karya Jamal al-Din
al-Afghani, Muh. Abduh, Ibn Taimiyah, dsb. Karena karya mereka dianggap
mempunyai potensi besar membangkitkan perlawanan terhadap Belanda.
Meskipun
demikian, Hurgronje juga menekankan bahwa Islam tidak boleh diremehkan di
Indonesia, baik sebagai kekuatan agama maupun kekuatan politik. Orang-orang
Indonesia, kata Snouck, banyak yang menjadikan Islam sebagai identitas perjuangan
dalam melawan Belanda. Bahkan Islam diyakini sebagai agama yang terbaik dari
agama-agama yang ada di dunia ini, tidak terkecuali agama yang dikembangkan
pemerintah Kolonial Belanda. Pada sisi ini, Snouck menyadari bahwa kuatnya
pengaruh Islam politik dalam kehidupan orang-orang Indonesia.
Secara
umum, kebijakan Islam yang disarankan Hurgronje didasarkan atas tiga prinsip
utama (Shihab, 1998:85-7). Pertama, dalam semua masalah ritual keagamaan,
misalnya ibadah, rakyat Indonesia harus dibiarkan bebas menjalankannya. Logika
dibalik kebijakan ini adalah membiarkan munculnya keyakinan dalam pikiran
banyak orang bahwa pemerintah kolonial tidak ikut campur dalam masalah keimanan
mereka.
Prinsip kedua
bahwa
sehubungan dengan lembaga-lembaga sosial Islam, atau aspek mu’amalah
dalam Islam, seperti perkawinan, waris, wakaf, dan hubungan-hubungan sosial
lainnya, pemerintah harus berupaya mempertahankan dan menghormati
keberadaannya. Meskipun demikian, pemerintah harus berusaha menarik sebanyak
mungkin perhatian orang Indonesia terhadap berbagai keuntungan yang dapat
diraih dari Kebudayaan Barat.
Prinsip
ketiga, dan paling penting, bahwa dalam masalah politik, pemerintah
dinasehatkan untuk tidak menoleransi kegiatan apa pun yang dilakukan oleh kaum
muslimin yang dapat menyebarkan seruan-seruan Pan-Islamisme atau menyebabkan
perlawanan politik atau bersenjata menentang pemerintah kolonial Belanda.
Lagi-lagi, dalam hal ini Hurgronje menekankan pentingnya kebijakan asosiasi
kaum muslim dengan peradaban Barat. Pendidikan Barat harus dibuat terbuka bagi
rakyat pribumi, agar asosiasi ini berjalan dengan baik dan tujuannya tercapai.
Hurgronje
sangat menekankan pendidikan Barat terutama untuk para bangsawan dan kaum
aristokrat Indonesia. Mereka memiliki tingkat kebudayaan yang lebih tinggi
dibanding rakyat pribumi. Kedekatan mereka terhadap pengaruh Barat, serta
posisi mereka yang relatif “bersih” dari pengaruh Islam. Para bangsawan dan
aristokrat Indonesia adalah kelompok sosial yang paling cocok untuk
pertama-tama ditarik masuk ke dalam orbit kebudayaan Barat dan dijadikan
sebagai rekanan.
Hal ini
didasarkan atas hasil observasi Hurgronje bahwa sebagian besar rakyat lebih
dipengaruhin oleh tradisi-tradisi local dibandingkan dengan pengaruh Islam dan
bahwa kelompok bangsawan tampaknya memiliki wewenang dan pengaruh lebih besar
dibandingkan para pemimpin santri. Karena itu, tambah Hurgronje, para bangsawan
Indonesia yang terdidik yang sebagian besar adalah kaum muslim “yang
sedang-sedang saja”, akan menjauh dari Islam dan akan memainkan besar dalam
mengantarkan Indonesia menuju dunia model Barat. Pandangan Snouck ini sangat
berpengaruh dan menjadi salah satu alasan disediakannya berbagai fasilitas
pendidikan dalam skala besar-besaran oleh pemerintah setelah tahun 1900 (Shihab,
1998:87-88).
Meskipun
cukup sukses, kebijakan Islam yang dirancang Hurgronje juga menemukan banyak
kegagalan . salah satu kesalahan Hurgronje adalah pandangan yang menyepelekan
kemampuan Islam sebagai sebuah kekuatan yang dinamis dalam melakukan reformasi dan
modernisasi diri.
Pada masa
berlangsungnya kebijakan Islam yang dirancang Hurgronje, Indonesia mengalami
serangkaian perubahan sosial yang penting. Perubahan-perubahan ini tidak
disebabkan oleh para penggagasnya atau merupakan hasil langsung dari sebuah
perencanaan yang sadar, tetapi sebagian besar berlangsung karena pengaruh tidak
langsung kebijakan di atas. Akibat tidak langsung yang tidak terduga, tetapi
juga sangat penting, adalah munculnya sekelompok kecil elit terdidik yang mampu
menyuarakan frustasi massa. Yang mengagetkan Belanda yang mendidik mereka
adalah kelompok kecil elit ini yang dipengaruhi kebudayaan Barat, belakangan
tampil sebagai pemimpin gerakan nasionalis yang sadar diri (Shihab, 1998:88).
Yang juga
tidak kalah penting adalah tumbuhnya banyak gerakan modernis yang dipelopori
oleh para sarjana Muslim sebagai respon atas kebijakan kolonial Belanda dalam
bidang pendidikan.
Pemerintah
mengembangkan sikap ganda terhadap gerakan rasionalis ini, pada mulanya
toleransi dan represi. Pada awalnya diyakini bahwa tumbuhnya kesadaran politik
merupakan konsekuensi logis kebijakan pendidikan mereka. Meskipun demikian,
karena gerakan-gerakan itu mulai menunjukkan giginya, pemerintah mengambil
sikap lebih keras terhadap mereka. Manifestasi nyata gerakan nasionalis ini
adalah berdirinya Budi Utomo pada tahun 1908. Organisasi ini segera disusul
oleh sebuah organisasi politik yang lebih merakyat dan kecenderungan Islam yang
kuat: Sarekat Islam. Hampir bersamaan dengan itu, berdiri pula Muhammadiyah.
Pada masa ini, untuk menarik masa, seruan atas nama Islam disuarakan sebagai
ikatan bersama dalam kehidupan orang-orang Jawa. Sementara Budi Utomo membatasi
kegiatannya pada bidang kebudayaan. Sarekat Islam lebih memfokuskan kegiatan
ekonomi dan politik. Sementara itu, Muhammadiyah mmemgokuskan upayanya untuk
mempertahankan Islam pada masa umumnya (Shihab, 1998:90).
B.
Ciri Perjuangan Muhammadiyah
Dengan melihat sejarah pertumbuhan dan perkembangan persyarikatan
Muhammadiyah sejak kelahirannya, memperhatikan faktor-faktor yang
melatarbelakangi berdirinya, aspirasi, motif, dan cita-citanya serta amal usaha
dan gerakannya, nyata sekali bahwa didalammya terdapat ciri-ciri khusus yang
menjadi identitas dari hakikat atau jati diri Persyarikatan Muhammadiyah.
Secara jelas dapat diamati dengan mudah oleh siapapun yang secara sepintas mau
memperhatikan ciri-ciri perjuangan Muhammdiyah itu adalah sebagai berikut.
1.
Muhammadiyah adalah gerakan Islam
2.
Muhammadiyah adalah gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar
3.
Muhammadiyah adalah gerakan tajdid
B. 1
. Muhammdiyah sebagai Gerakan Islam
Telah diuraikan dalam bab terdahulu bahwa Persyarikatan Muhammadiyah
dibangun oleh KH Ahmad Dahlan sebagi hasil kongkrit dari telaah dan pendalaman
(tadabbur) terhadap Alquranul Karim. Faktor inilah yang sebenarnya paling utama
yang mendorong berdirinya Muhammadiyah, sedang faktor-faktor lainnya dapat
dikatakan sebagai faktor penunjang atau faktor perangsang semata. Dengan
ketelitiannya yang sangat memadai pada setiap mengkaji ayat-ayat Alquran,
khususnya ketika menelaah surat Ali Imran, ayat:104, maka akhirnya dilahirkan
amalan kongkret, yaitu lahirnya Persyarikatan Muhammadiyah. Kajian serupa ini
telah dikembangkan sehingga dari hasil kajian ayat-ayat tersebut oleh KHR
Hadjid dinamakan “Ajaran KH Ahmad Dahlan dengan kelompok 17, kelompok ayat-ayat
Alquran”, yang didalammya tergambar secara jelas asal-usul ruh, jiwa, nafas,
semangat Muhammadiyah dalam pengabdiyannya kepada Allah SWT.
Dari latar belakang berdirinya Muhammadiyah seperti di atas jelaslah bahwa
sesungguhnya kelahiran Muhammadiyah itu tidak lain karena diilhami, dimotivasi,
dan disemangati oleh ajaran-ajaran Al-Qur’an karena itupula seluruh gerakannya
tidak ada motif lain kecuali semata-mata untuk merealisasikan prinsip-prinsip
ajaran Islam. Segala yang dilakukan Muhammadiyah, baik dalam bidang pendidikan
dan pengajaran, kemasyarakatan, kerumahtanggaan, perekonomian, dan sebagainya
tidak dapat dilepaskan dari usaha untuk mewujudkan dan melaksankan ajaran
Islam. Tegasnya gerakan Muhammadiyah hendak berusaha untuk menampilkan wajah
Islam dalam wujud yang riil, kongkret, dan nyata, yang dapat dihayati, dirasakan,
dan dinikmati oleh umat sebagai rahmatan lil’alamin.
B. 2
. Muhammadiyah sebagai Gerakan
Dakwah Islam
Ciri kedua dari gerakan Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan dakwah
Islamiyah. Ciri yang kedua ini muncul sejak dari kelahirannya dan tetap melekat
tidak terpisahkan dalam jati diri Muahammadiyah. Sebagaimana telah diuraikan
dalam bab terdahulu bahwa faktor utama yang mendorong berdirinya Persyarikatan
Muhammadiyah berasal dari pendalaman KHA Dahlan terdapat ayat-ayat Alquran
Alkarim, terutama sekali surat Ali Imran, Ayat:104. Berdasarkan Surat Ali
Imran, ayat : 104 inilah Muhammadiyah meletakkan khittah atau strategi dasar
perjuangannya, yaitu dakwah (menyeru, mengajak) Islam, amar ma’ruf nahi munkar
dengan masyarakat sebagai medan juangnya. Gerakan Muhammadiyah berkiprah di
tengah-tengah masyarakat bangsa Indonesia dengan membangun berbagai ragam amal
usaha yang benar-benar dapat menyentuh hajat orang banyak seperti berbagai
ragam lembaga pendidikan sejak taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi, membangun
sekian banyak rumah sakit, panti-panti asuhan dan sebagainya. Semua amal usaha
Muhammadiyah seperti itu tidak lain merupakan suatu manifestasi dakwah
islamiyah. Semua amal usaha diadakan dengan niat dan tujuan tunggal, yaitu
untuk dijadikan sarana dan wahana dakwah Islamiyah.
B. 3
. Muhammadiyah sebagi Gerakan Tajdid
Ciri ke tiga yang melekat pada Persyarikatan Muhammadiyah adalah sebagai
Gerakan Tajdid atau Gerakan Reformasi. Muhammadiyah sejak semula menempatkan
diri sebagai salah satu organisasi yang berkhidmat menyebarluaskan ajaran Agama
Islam sebagaimana yang tercantum dalam Alquran dan Assunah, sekaligus
memebersihkan berbagai amalan umat yang terang-trangan menyimpang dari ajaran
Islam, baik berupa khurafat, syirik, maupun bid’ah lewat gerakan dakwah.
Muhammadiyah sebagai salah satu mata rantai dari gerakan tajdid yang diawali
oleh ulama besar Ibnu Taimiyah sudah barang tentu ada kesamaaan nafas, yaitu
memerangi secara total berbagai penyimpangan ajaran Islam seperti syirik,
khurafat, bid’ah dan tajdid, sbab semua itu merupakan benalu yang dapat merusak
akidah dan ibadah seseorang.
Sifat Tajdid yang dikenakan pada gerakan Muhammadiyah sebenarnya tidak
hanya sebatas pengertian upaya memurnikan ajaran Islam dari berbagai kotoran
yang menempel pada tubuhnya, melainkan juga termasuk upaya Muhammadiyah
melakukan berbagai pembaharuan cara-cara pelaksanaan Islam dalam kehidupan
bermasyarakat, semacam memperbaharui cara penyelenggaraan pendidikan, cara
penyantunan terhadap fakir miskin dan anak yatim, cara pengelolaan zakat fitrah
dan zakat harta benda, cara pengelolaan rumah sakit, pelaksanaan sholat Id dan
pelaksanaan kurba dan sebagainya.
Untuk membedakan antara keduanya maka tajdid dalam pengertian pemurnian
dapat disebut purifikasi (purification) dan tajdid dalam pembaharuan dapat
disebut reformasi (reformation). Dalam hubungan dengan salah satu ciri
Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid, maka Muhammadiyah dapat dinyatakan sebagai
Gerakan Purifikasi dan Gerakan Reformasi.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Bedasar
pembahasan pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.
Ada empat masalah dasar yang melatar belakangi
berdiriya Muhammadiyah, yaitu: aspirasi Ahmad Dahlan, realitas sosio-agama di
Indonesia, realitas sosio-pendidikan di Indonesia, dan realitas politik Islam
Hindia-Belanda.
2.
Ciri perjuangan Muhammadiyah berdasar sejarah
dan dasar pemikiran terbentuknya organisasi ini ada tiga, yaitu: Muhammadiyah adalah
gerakan Islam, Muhammadiyah adalah gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar,
serta Muhammadiyah adalah gerakan tajdid.
DAFTAR
PUSTAKA
Baidhawy,
Zakiyuddin. 2001. Studi Kemuhammadiyahan Kajian Historis, Ideologi, dan Organisasi, Surakarta
: LSI.
Shihab,
Alwi. 1998. Membendung
Arus : Respons Gerakan Muhammadiyah terhadap Misi Kristenisasi di Indonesia. Bandung
: Mizan.
Sjoeja’,
M. 1995. K.H.
Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah Versi Baru, eds. Saifullah dan
Musta’in (Manuskrip).
Syaifullah,
1997. Gerak
Politik Muhammadiyah dalam Masyumi, Jakarta : Gramedia.
Tamimi,
M. Jindar. Dalam Tim Penulis UMM, eds., 1990. Muhammadiyah, Sejarah, Pemikiran
dan Amal Usaha, Malang, UMM Press.
http://www.muhammadiyah.or.id
Sumber Gambar : www.sayangi.com